Soekarno, dilema antara bangsa dan cinta.
Ditulis oleh Andhika Tovano (JMFC 006)
Berhubung suasana hari kemerdekaan nih gaesss.... JMFC 006 - Uwo bakal coba ngulik-ngulik dikit tentang film indonesia yg udah pernah beredar. Yaitu film "Soekarno".
Berhubung suasana hari kemerdekaan nih gaesss.... JMFC 006 - Uwo bakal coba ngulik-ngulik dikit tentang film indonesia yg udah pernah beredar. Yaitu film "Soekarno".
Tokoh
proklamator dan pahlawan bangsa indonesia Soekarno akhirnya difilmkan.
Setelah sebelumnya kita ketahui sudah ada film tokoh bangsa yg difilm
kan seperti Gie, Sang Pencerah, Sang Kyai dan masih banyak lagi.
Tentunya nih, utk menggarap film biografis Soekarno tinggal soal waktu.
Mungkin nanti bakal ada juga daftar yokoh atau pahlawan indonesia yg
bakal di garap. Entah itu M.Hatta, syahrir, dan banyak lagi. Bisa jadi
pahlawan Jambi sendiri nih gaes, seperti Sutan Thaha Sjaifuddin, Legenda Orang Kayo Hitam, Datuk berhala dan lain2.
Tentu
kita ga perlu repot-repot menjelaskan siapa Soekarno. Dari SD sampai
kuliah, kita selalu disuguhi pelajaran sejarah yg didalamnya pasti ada
tokoh ini. Nah......Soekarno-nya Hanung, adalah
yang paling pertama mengangkat sosok sang proklamator di layar lebar
sebagai film biografi. Btw emang sih, sebelumnya, karakter Soekarno
lebih sering menjadi bagian dari cerita yang lebih besar. Seperti Usmar
Ismail di tahun 1955, membuat film "Tamu Agung" yang
mengejek Soekarno sebagai calon diktator. Anehnya, di saat sejumlah
suara meminta film itu dilarang, Soekarno malah tertawa-tawa
menyaksikannya di istana. Mungkin karna tokohnya kurang menjiwai Soekarno
kali yah? Hehehehehee.... Dan beberapa kali juga mini seri di televisi
bertema sejarah proklamasi diputar sekitar tanggal 17 agustus.
Kisahnya ga baru. Ujung-ujungnya Soekarno dan Hatta tengah ditekan para
anak-anak muda radikal yang tak sabar supaya kemerdekaan dideklarasikan
di tengah ancaman Jepang.
Di film Gie misalnya,
potret dari tokoh Soekarno cenderung negatif: seorang penguasa tua yang
hobi kawin. (Maklumlah, pada saat itu belum ada aturan2 tentang poligami di
tubuh birokrasi) bahkan di saat kekuasannya memasuki pasca-peristiwa
G30S. Gambar seperti ini diperkuat lagi dengan pembangunan setting sosial
seperti antrian beras dan rakyat kecil yang penyakitan. Singkatnya,
panorama buruk ‘Demokrasi Terpimpin.’ Situasi seperti ini juga ditemukan
di film Years of Living Dangerously (Peter Weir, 1982), di
mana tokoh Soekarno, dilihat dari sudut pandang seorang wartawan
Amerika, berada di tengah-tengah polarisasi politik antara PKI dan
tentara, seraya tak henti-hentinya membangun Jakarta menjadi kota
mercusuar untuk New Emerging Forces. (Aduh...berat banget bahasa gw yak...??)
Lalu sosok Soekarno yang seperti apa yang ditawarkan Hanung Bramantyo?
Kisah "Soekarno: Indonesia Merdeka " (selanjutnya Soekarno)
dimulai dari masa kecil Soekarno sampai pada saat-saat dimana naskah
proklamasi dibacakan. But.... bagian terbesar dari film ini mengambil
masa-masa di mana Soekarno diasingkan, jaman pendudukan Jepang, hingga
persiapan proklamasi kemerdekaan.
Di
bagian awal film, kita menyaksikan masa kecil Soekarno. Sesuai dari
sejarah yg banyak berkembang : ia sakit-sakitan sehingga harus ganti
nama, dari Kusno ke Soekarno. Nah.... Dari paparan singkat tentang masa
kecil itu segera beralih ke masa di mana orientasi intelektual dan
politik Soekarno mulai terbentuk. Tinggal dalam kos-san legendaris milik
HOS Tjokroaminoto bersama Musso dan Kartosuwiryo, singkat diperlihatkan
perjumpaannya pemikiran-pemikiran politik di jamannya.
Ada
yg sedikit menggelitik bagi gw di film ini. Pada adegan dimana ada
seorang gadis "Londo" alias Belanda teman sekolah Soekarno bernama Mien.
Bukan Mi'ing yah.... Yang berdialog seperti ini : “Kusno, apakah kamu
seorang Marxis?” tanya Mien, Soekarno kecil ga jawab. Ehhh...malah
nyosor bibir Mien. (Udah tau kan kenapa Soekarno punya banyak istri?
Dari kecil udh play boy broww....). Sayang, adegan cinta monyet itu
terpotong oleh lemparan sandal bapaknya yang diam-diam mengintip.
Soekarno ga ambil pusing ama sikap bapaknya. Di Film ini Soekarno
digambarkan punya rasa percara diri yang tinggi sampai-sampai mengira
bahwa si gadis londo akan takluk. Mien memang kelihatan
kesengsem berat. Namun pujaan hatinya itu malah diusir oleh sang ayah
ketika bertandang ke rumahnya. “Kau tak pantas memacari anak saya, kita
tak segolongan.” Soekarno remaja diusir. Dua jongos berkulit coklat
menyeretnya keluar dari rumah Mien. Pengalaman ini rupa-rupanya
meninggalkan trauma yang dalam. soekarno segera sadar akan posisinya
sebagai warga kelas kambing di Hindia-Belanda, sehingga dalam film ini
ia langsung belajar pidato di kamar kosnya tiap larut malam, dengan
berapi-api.
Kemudian masa-masa pembuangan di Bengkulu dan era pendudukan Jepang mengambil porsi terbesar dalam film Soekarno Ini. Disini
kita menyaksikan kebimbangan-kebimbangan Soekarno, khususnya menyangkut
perempuan. Istrinya yang setia, Inggit Garnasih, diperlihatkan
mendukungnya dengan tulus, mulai dari ia dijebloskan ke penjara Banceuy,
Bandung, hingga ke pembuangan di Bengkulu. Di Bengkulu pula Soekarno
terpikat oleh muridnya, Fatmawati, yang menyebabkan hubungannya dengan
sang istri gonjang-ganjing. Setelah Jepang masuk ke Hindia Belanda dan
Soekarno diajak bekerjasama membantu Jepang menghadapi Sekutu, mereka
pun bercerai. Tak lama kemudian, Soekarno, yang sudah ditagih cucu oleh
orangtuanya, akhirnya menikahi Fatmawati.
Kisah
cinta segitiga Soekarno-Inggit-Fatmawati yang mengharu-biru dan melow
yelow pelowww itu menyelingi dengan kebimbangan-kebimbangan Soekarno
lainnya ketika harus bekerjasama dengan bala tentara pendudukan Jepang.
Dalam catatan sejarah yang selama ini diketahui, ia memilih bekerjasama
untuk menghindari pertumpahan darah. Pilihan yang saangattt... tidak
enak. Ia harus meyakinkan kaum santri agar mau menerima prostitusi
dadakan yang diorganisir Jepang di lingkungan mereka, supaya para gadis
setempat tak dikorbankan. Beberapa aktivitas padat karya seperti
Romusha—kerja paksa yang memakan banyak korban. Soekarno diminta
menghimpun tenaga rakyat. Pekerjaan-pekerjaan kotor yang dilakukan
dengan penuh keterpaksaan ini menjadikan Soekarno sasaran empuk para
pemuda radikal, yang mencapnya sebagai antek Jepang. Sjahrir, salah
seorang wakil dari kelompok pemuda anti-Jepang, sempat bersitegang
dengan Soekarno dan Hatta. Bagi Sjahrir, tindakan kolaborasi dengan
Jepang hanya akan mendorong Indonesia ke jurang fasisme. Namun sedini
mungkin Hanung menegaskan bahwa terlepas dari ketegangan-ketegangan
mereka, ada pemahaman timbal-balik antara Soekarno-Hatta dan Sjahrir,
sehingga perbedaan mereka hanyalah soal taktik: Soekarno dan Hatta
memilih jalur kooperatif, sementara Sjahrir dan yang lainnya bergerak di
bawah tanah, menyebarkan propaganda anti-Jepang.(ngeri ga tuh taktik
nya).
Dilema moral
Okay
gaess... Gw aplaus buat Hanung karena Soekarno yang ditampilkan adalah
Soekarno yang tidak sepenuhnya merdeka dari dilema-dilema moral dalam
situasi yang gawat, maupun kecenderungan roman-romanan dengan wanita.
Tapi ada persoalan yg sangat besar di sini. Nah loh, kata nya aplaus, kok
ada masalah besar?
Okay,
disini gw lihat dari sudut pandang gw. Ini menyangkut susunan gambar
yang dibangun Hanung, khususnya pada sekuens detik-detik proklamasi.
Pembacaan teks proklamasi yang mengharu-biru diselang-selingi oleh
kilasan balik ke masa lalu Soekarno, mulai ketika ia didepak dari rumah
Mien Hessel, pengalamannya sebagai buangan di Bengkulu bersama Inggit,
pertemuannya dengan Fatmawati, dan seterusnya. Boleh jadi sutradara
bermaksud menyuguhkan gambaran bahwa kolonialisme punya efek yang sangat
mendalam dan privat bagi Soekarno. But.... rentetan kilasan balik itu
justru berimplikasi lain: seakan-akan Soekarno terlibat dalam perjuangan
kemerdekaan karena gagal memacari gadis Belanda, seakan-akan Indonesia
merdeka karena ketulusan Inggit di pengasingan, dan seakan-akan sejarah
nasionalisme Indonesia adalah sintesis misterius antara mitos Gajah
Mada—yang beberapa kali disinggung Soekarno dengan berapi-api—dan
naik-turunnya percintaan Soekarno.
Gw
setuju dgn review yg mengatakan "Pola penuturan hubungan antara
protagonis dan lingkungannya jatuh pada personalisasi konteks
sosial-politik di sekitar sang protagonis. Eksploitasi yang terjadi
pada inlander adalah eksploitasi sejauh mana Soekarno
menyaksikan dan mengalaminya secara langsung. Kesukaran-kesukaran yang
dihadapi Soekarno ketika harus memutuskan kerjasama dengan Jepang
berbanding lurus dengan kehidupan percintaannya, sehingga ketika cekcok
rumah tangga diselesaikan dengan perceraian dan berlanjut dengan
pernikahan untuk kesekian kalinya, kerja-kerja kobar di lapangan pun
ikut beres."
Kemunculan
film-film tentang tokoh historis belakangan bisa dibaca sebagai respon
atas permasalahan sosial yang berkembang dalam masyarakat. Soegija dan Sang Kyai adalah
komentar atas masyarakat yang dihantam konflik-konflik sektarian.
Konflik yang hadir di masa sekarang diproyeksikan jauh ke masa lampau,
lalu diselesaikan lewat ujaran-ujaran heroik sang tokoh—biasanya pada
bagian penutup—yang ajaibnya merupakan komentar atas masa depan
ketimbang tentang qsituasi konkret yang mereka hadapi. Tak heran jika
periode-periode yang diambil masih sekitar momentum-momentum gemilang
seperti proklamasi
Hal yang sama berlaku juga buat Soekarno.
Sekuens pidato Pancasila Soekarno secara langsung merupakan komentar
atas, katakanlah, semakin konservatifnya masyarakat sekarang dalam
urusan keagamaan. Adapun pembicaraan Soekarno dan Hatta menjelang 17
Agustus adalah komentar langsung atas pesimisme pra-pemilu 2014 yang
dibungkus dengan pertanyaan-pertanyaan klise seperti, “mampukah bangsa
kita memimpin rakyatnya sendiri?”
Sulit
memang membayangkan bagaimana narasi sejarah bisa hadir tanpa
keberadaan tokoh besar dengan ujaran motivasional dalam film-film
sejarah Indonesia. Kapan yah film Indonesia bisa keluar dari tema-tema
perjuangan nasionalis di sekitar tahun 1945, lalu mengangkat invasi dan
penjajahan Indonesia di Timor Leste, operasi Petrus dan episode-episode
gelap lainnya dalam sejarah bangsa? Atau mungkin nih untuk narasi
biografis, saran gw bisa gak film Indonesia sekarang mengisahkan tokoh
dari masa lampau dalam keadaannya yang paling buruk, dalam
kegagalan-kegagalannya mengatasi peristiwa besar yang di berada di luar
kendalinya, atau dalam kejahatan-kejahatannya yang tak termaafkan?
Sebenernya gw di sini tidak hanya bicara tentang, misalnya, hari-hari
terakhir Gus Dur—presiden progresif terakhir yang dimiliki Indonesia—di
Istana, tetapi juga kriminal-kriminal yang tak tersentuh.
Btw
nih... Jika tren film pahlawan masih begitu-begitu aja, boleh jadi
untuk tahun-tahun ke depan kita lebih butuh Mario Teguh, makin gampang
lupa, dan tak mau terima kritik.
Uhhfftttt
setalah gw baca2 dari atas, emang agak berat pembahasan film soekarno
ini. But, worth it sih. Lena ini menyangkut film indonesia.kita ga mau
dong film negri sendiri ga bagus.
Gw beri rating 7,5/10 utk film ini. Krna udah berani mengangkat Soekarno pribadi, bukan sebagai pendukung dlm film.
Btw, dirgahayu ke -70 negriku indonesia.Nusantara yg indah dan penuh cerita.
Nah... Gaes jgn lupa di Like yah review ini.
*JMFC 006 - Uwo*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar