Review Film Indonesia : Single (By Habibi JMFC 036)
Siapa yang tidak kenal
dengan raditya dika? Sejak kehadirannya lewat blog pribadi sudah menyita banyak
perhatian netizen akan kisah Dika yang menertawakan hidupnya yang selalu gagal
dalam percintaan dan memiliki keluarga yang unik menurutnya, sampai pada
akhirnya tulisan-tulisan blognya diadaptasi ke buku dan berhasil membuat
penggemarnya bertambah banyak. Kehadirannya di rana hiburan memang membawa
angin segar, ditengah dunia pertelevisian yang berlomba-lomba menghadirkan
program nyeleneh radit hadir dan membawa stand up comedy di Indonesia kembali
hidup, tidak cukup sampai disitu tawaran untuk menghibur manusia haus hiburan
pun berlanjut ke layar lebar dan mengangkat salah satu buku karyanya berjudul
“Kambinng Jantan”, “Cinta Brontaosaurus”, “Cinta Dalam Kardus”, dan “Manusia
Setengah Salmon” yang semua bercerita tentang hal yang sama percintaan yang
berujung tidak bahagia. Saya rasa tidak perlu memperpanjang tulisan ini dengan
mengangkat biografi Radtya dika karena kembali ke kalimat pembuka, siapa yang tidak
mengenal raditya dika? Kecuali anda memang tidak pernah ingin tahu siapa dia.
Kembali hadir
dengan karya terbarunya berjudul “Single” sudah tentu kita bisa menebak apa
yang ingin ditawarkan raditya dika kali ini tanpa harus sok jenius, mungkin
sebagian dari kita merasa bahwa Dika benar-benar terjebak dengan ceirta itu-itu
saja, menyedihkan, tapi sebagian juga merasa tertantang dengan kejutan apa yang
akan dihadirkan Dika kali ini (saya begitu) karena kita tahu Dika bukan berotak
dangkal yang hanya bisa menertawakan hidupnya, walaupun terbilang tidak semua
karya Dika bisa hadir dengan premis yang menjanjikan, buktinya Dika mampu hadir
dengan filosofi kejutannya yang tak terduga dalam “Kambing Jantan”, “Cinta
Dalam Kardus” dan “Manusia Setengah Salmon”. Sejak keberhasilannya dalam menulis skrip dan menyutradarai langsung film
“Marmut Merah Jambu” Dika Kembali meyakinkan penonton dalam film “Single” dan
mencoba mengangkat cerita yang tidak diadaptasi dari bukunya tapi ingin
mendeskripsikan kisah para jomblo dalam Audio Visual dan sekaligus
memerankannya.
Dalam film “Single”
Raditya Dika adalah pemuda jomblo menahun tanpa pekerjaan tetap bernama Ebi
yang tinggal di sebuah rumah kos bersama dua sahabatnya, Wawan (Pandji
Pragiwaksono) dan Victor (Babe Cabiita). Dalam usia mendekati kepala 3 (atau
malah sudah melewatinya?), Ebi dirisaukan oleh ketidakmampuannya menjalin
hubungan dengan lawan jenis lantaran senantiasa kesulitan menciptakan
komunikasi yang baik. Kegalauannya perihal asmara ini kian menjadi-jadi tatkala
sang adik, Alva (Frederik Alexander), dengan kehidupan jauh lebih mapan
dibanding Ebi mendadak memutuskan untuk menikah. Tidak ingin harga dirinya
jatuh di depan ibu (Tinna Harahap) yang sempat mengemukakan keinginannya
menimang cucu kepada Ebi secara terang-terangan, Ebi pun mulai memberanikan
diri mencari pendamping hidup dengan bantuan dari Wawan dan Victor.
Perhatiannya tertambat pada Angel (Annisa Rawles), mahasiswi Kedokteran yang
baru saja pindah ke kos Ebi. Hanya saja, tidak mudah memenangkan hati Angel
lantaran kekikukan Ebi yang mengganggu dan Angel ternyata memiliki seorang
‘abang’ bernama Joe (Chandra Liow) yang terus menerus menghalangi upaya Ebi
untuk mendekati Angel.
Film dibuka dengan
adegan klise ala Dika membuat saya tidak begitu merasa film ini “wah” sampai
ketika Dika menyanyikan lagu Geisha (Soundtrack film Single) dengan suara yang
sumbang berantakan berhasil membuat suasana pecah dan menggelitik, Dika
berhasil membuat kita bingung haruskah menertawakan orang yang sedang ditimpa
kesialan? Point pertama yang membuat saya jatuh cinta dengan film Single, Dika
seolah olah ingin menjelaskan yah realnya nasib jomblo seperti itu, seringkali
ditertawakan disaat mereka tidak meminta ditertawakan akan nasibnya yang tidak
sebahagia mereka yang sudah punya pasangan.
Dari segi cerita
memang tidak ada yang baru dari film “Single”, Dika masih bermain dalam “Comfort-zone” dengan kembali
bermain-main di area yang betul-betul sudah dikuasainya diluar kepala, tapi
bukan berarti cerita jadi “basi”, Dika tahu betul bagaimana caranya
mengeksekusi sebuah “benang merah” dengan berbagai deskripsi cerdas seperti
yang kita sudah pernah lihat dari buku-buku atau film-film dika sebelumnya.
Tidak sampai disitu saja, Dika juga memanfaatkan kolaborasinya dengan Rumah
Produksi yang sudah dikenal paling berani melontarkan budget yang besar ke
semua sisi departemen terlibat demi menghadirkan film yang berkualitas. Supaya
menopang sisi cerita yang (sudah diketahui Dika) “biasa”, Dika menopang
adegan-adegan film menjadi lebih “mahal”, ada adegan kebut-kebutan di jalan
raya, disusul adegan terjun payung dan tidak ketinggalan menghadirkan Landscape Pulau Bali yang begitu indah
sehingga urusan Sinematografi film ini terasa solid berkat bantuan Enggar
Budiono yang menghadirkan visual efek Grande khas Soraya Intercine Film. Tentu
ini bukan sekedar gaya-gayaan ala SIF melainkan menjadi penunjang yang sangat
membantu sisi carita bahkan lebih mempertajam dan mempertegas guyonan Dika yang
selama ini kita lihat sederhana bahkan terlampau sederhana.
Cerita bergulir
penuh canda, saya rasa Dika sangat memanfaatkan kesempatan untuk mengeksplor
cerita dengan baik, menggarap film sekaligus bermain langsung tentu bukan
perihal gampang, dan Dika berhasil membuktikan (lagi dan lagi) kemampuannya
diatas rata-rata. Tidak hanya ingin dikenal sebagai Komika, Dika tidak hanya
fokus berorientasi dalam banyolan, tapi juga fokus membawa cerita yang diangkat
lebih hidup dan memanusiakan para pelakonnya dengan memberi ruang cukup kepada
setiap karakternya. dengan mengambil alur lambat film ini hadir tanpa
melelahkan pikiran dan tidak berusaha mentendesi penontonnya secara gamblang. Yang membuat film “single’ terlihat lebih
sukses dan terbaik dari karya Dika sebelumnya, timing yang tepat saat mengeluarkan
bom-bom guyonan Dika disaat penonton merasa agak lelah dengan alur lambat yang
dihadirkan dan menjadikan setiap lawakannya berada di kelas premium.
Diperbantukan dengan jajaran pemain yang membuktikan totalitas dan seolah paham
betul kapan dan bagaimana menerjemahkan tulisan-tulisannya menjadi lakonan
pengundang tawa, seperti Pandji Pragiwaksono, Tinna Harahap, Chandra Liow, dan
paling mencuri perhatian berkat celetukan absurd-nya
yang tak pernah gagal membuat saya terbahak-bahak, Babe Cabiita. Ditambah
garapan musik yang dihadirkan terasa pas dan dapat membawa emosi penonton ke
level semestinya menambah kompleksitas film ini.
“Single” bukan
hanya film yang menghibur tapi mampu membuat saya melenggang keluar dari
bioskop dengan membawa pesan yang disampaikan sambil tersenyum-senyum sendiri
mengingat adegan yang tidak mudah lenyap begitu saja dari ingatan, dan mampu
menarik saya kembali ke gedung bioskop untuk menertawakan Raditya Dika
sekaligus menyelami kalimat-kalimat pesan Dika supaya diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Premium!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar