Review non spoiler dan Penjelasan Ending Film : Censor (2021)
Review dan Penjelasan Ending Film : Censor (2021)
Review (Non Spoiler)
Censor (2021), sekilas akan seperti film horor biasa, malah mungkin ga begitu menakutkan. Karena memang fokus film ini bukan untuk memberikan kengerian bagi penontonnya, melainkan menghadirkan cerita dari perspektif tokoh yang selama ini rasanya belum pernah diangkat menjadi protagonis dalam sebuah film, padahal dia sendiri berperan penting dalam setiap film, dialah "Tukang Sensor". Saya ga tau sebutannya apa untuk seseorang yang pekerjaannya berada di lembaga sensor film dan bertugas nontonin film-film yang akan beredar dan memutuskan mana aja yang disensor dan ratingnya apa. Dalam film ini sih disebut sebagai "Censors". Bisa ga kalian bayangkan gimana rasanya jadi tukang sensor? Kalian harus melihat semua adegan yang ga semestinya diliat, termasuk adegan yang terlalu sadis, hari demi hari, jam demi jam, yang kalian konsumsi itu melulu. Sanggup? Ini adalah pekerjaan berat, harus kuat iman, kuat mental dan juga fisik. Karena kalo ga kuat, ya pasti bisa terpengaruh kejiwaannya, dan tubuh juga dapat mual dan muntah-muntah. Untungnya, dalam film ini, sang protagonis adalah wanita yang sangat "kuat", dialah Enid.
Bersetting di tahun jadul, mungkin sekitar 1980an, dimasa film-film masih dikemas dalam format kaset VHS, adalah Enid yang profesinya sebagai seorang censors. Dia adalah wanita "kuat", melihat adegan-adegan yang sangat sadis aja ga bergeming. Apa yang membuat dia kuat adalah prinsip tentang pekerjaannya, bahwa dia ingin melindungi masyarakat dari pengaruh buruk film. Jadi dia harus bekerja sebaik mungkin untuk mensensor adegan yang kira-kira tidak layak di konsumsi publik.
Perlu diketahui bahwa di era tersebut, memang sempat terjadi pergolakan di dunia perfilman, terutama di Inggris Raya. Orang-orang berhipotesis bahwa terdapat hubungan antara film yang mengandung unsur kekerasan terhadap meningkatnya angka kriminalitas di Inggris Raya. Saat itu memang beredar film-film yang disebut dengan istilah "video-nasty", sebutan untuk film-film horor yang terlalu sadis, frontal, vulgar dan sarat eksploitasi. Terlepas dari benar atau tidaknya hipotesis tersebut, tetap aja pada akhirnya membuat pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Video Recordings Act 1984 yang isinya merupakan upaya sensor, pengklasifikasian, pengetatan dan persetujuan terhadap distribusi film komersil yang beredar. Dengan tujuan untuk menurunkan angka kriminalitas dan mengurangi pengaruh buruk film terhadap orang yang menontonnya. Memang ada beberapa film yang mengandung kekerasan dan secara kebetulan
atau tidak, memberikan pengaruh terhadap seseorang. Contohnya seperti
film Scream yang berpengaruh terhadap kasus terbunuhnya seorang ibu oleh
anaknya sendiri pada tahun 1998, trus film Saw yang menginspirasi lebih
dari satu kasus kejahatan. Dan tak lupa yang paling fenomenal adalah penembakan di bioskop saat pemutaran film The Dark Knight oleh seseorang
yang mengaku sebagai "Joker".
Kembali ke filmnya, suatu ketika, terjadi kasus kriminalitas yang mana pelakunya melakukan pembunuhan persis seperti adegan dalam sebuah film. Jadi beredarlah citra di masyarakat bahwa film dapat "menginspirasi" orang untuk berbuat jahat. Apesnya buat Enid, film tersebut diketahui oleh pers bahwa yang nyensor adalah dirinya. Berita ini menjadi beban pikiran buatnya dan bertanya-tanya, apakah sensor yang dia lakukan masih belum "sadis"? Padahal dia merasa sudah melakukan sensor yang semestinya. Apakah benar film dapat mempengaruhi perbuatan seseorang? Ini baru sekedar cerita pembangun, bukan masalah utama dalam film ini. Masih ada film lain yang akan memberikan dampak luar biasa terhadap diri Enid.
Film ini bukan tipikal film horor pada umumnya yang mengandalkan jump-scare atau sosok yang menyeramkan, tapi lebih tepat sebagai horor psikologi yang menerpa sang tokoh utama. Enid disini meskipun terlihat kuat, tapi dia punya kelemahan jika berhadapan dengan sesuatu yang membangkitkan trauma masa lalunya, yaitu dia pernah kehilangan adik kandungnya, Nina, yang sampai bertahun-tahun tidak ditemukan dan dinyatakan meninggal. Enid menjadi terlalu obsesif, terus mencari tau petunjuk tentang keberadaan Nina, bersikeras menepis kenyataan, dia merasa Nina masih ada. Dia ga bisa nerima kenyataan ini, karena dia sendiri ga bisa mengingat kejadian persisnya gimana, padahal sebelum hilang, Nina sedang pergi bersamanya.
Enid adalah tokoh sentral film ini, segala hal berputar mengitarinya, ga ada ruang atau pengembangan untuk karakter lainnya. Ini film solo Enid, dengan banyak angle close shot pada dirinya. Sementara untuk tokoh lainnya, meskipun cuma punya screen-time yang sedikit, tapi justru memberikan petunjuk maupun plot twist yang signifikan. Kamu perlu memperhatikan setiap line yang keluar dari tiap tokoh dan mencoba menghubungkannya dengan kondisi Enid. Semua aktor dalam film ini sih ga terkenal-terkenal amat ya, kita jarang melihatnya di film-film yang populer, tapi meskipun begitu mereka adalah orang-orang pilihan yang sering mengisi film-film di festival film internasional.
Penjelasan Ending (Spoiler)
Apakah yang terjadi sebenarnya di masa lalu saat Enid ke hutan bersama Nina?
Hanya ada dua kemungkinan yang besar, namun keduanya sama-sama berujung tidak baik. Yang pertama kemungkinannya adalah Nina telah terbunuh oleh Enid sendiri, baik secara langsung maupun tidak langsung.Dan Enid menyembunyikan mayatnya di suatu tempat yang ga bisa ditemukan orang lain. Kemungkinan kedua adalah Nina diculik seorang tak dikenal. Apapun teorinya, hal yang menyedihkan ini membuat Enid kehilangan memory sesaat, atau yang disebut dengan istilah "repressed memory". Repressed memory adalah memori yang ditekan ke alam bawah sadar sehingga tidak dapat diakses atau diingat oleh pikiran sadar. Repressed memory dapat berasal dari satu kejadian atau peristiwa yang biasanya sangat menyakitkan atau memilukan bagi penderitanya, seperti kekerasan dan trauma. Dalam film ini di hint lewat dua adegan.
Petunjuk yang pertama adalah berita tentang "Pembunuh Amnesia", dia ga ingat kalo telah membantai keluarganya sendiri. Begitu pula dengan Enid yang ga bisa menjelaskan apa-apa tentang kejadian di hutan. Dan petunjuk yang kedua adalah line temen kantornya yang bilang "You would be surprise what human brain can edit out when can't handle the truth". Ya, otak manusia bisa "meng-edit" ingatan mana yang boleh tersimpan dalam otak ketika mereka ga sanggup menerima kenyataan pahit.
Kasus repressed memory ini juga pernah diangkat menjadi tema sebuah film horor lain, yang juga bagus, namun ga bisa saya sebutkan disini judulnya, karena itu akan menjadi spoiler bagi temen-temen yang belum menontonnya. Kalo mau tau juga, silahkan klik kolom spoiler.
Session 9 (2001).
Spoiler judul film
Apakah ending itu nyata atau halusinasi?
Endingnya merupakan campuran dari fiksi dan realita. Adegan dimana Enid dan aktris Alice "pulang" ke rumah orang tua mereka itu adalah fiksi, alias Enid yang berhalusinasi. Hal ini diperlihatkan oleh rasio screen film yang berubah menjadi agak petak yaitu rasio 4:3. Perubahan rasio ini terjadi secara perlahan-lahan. Jika kalian perhatikan, mulai saat Enid mendatangi lokasi syuting, mulai saat itulah rasio screen film ini lama-kelamaan mulai mengecil. Dari yang tadinya wide screen 2.35:1 menjadi 4:3. Hal ini menyiratkan kalau semua adegan selama rasio 4:3 ini, adalah ibarat "film" (yang kala itu adalah berformat VHS dengan rasio 4:3). Kita tau bahwa film itu adalah fiksi, jadi semua adegan dalam rasio tersebut hanyalah halusinasi aja, yaitu halusinasi Enid. Barulah ketika sutradara Frederick North bilang "Cut", barulah adegannya beralih ke dunia nyata Enid, karena rasio screen filmnya kembali ke 2.35:1. Dan berubah lagi ke rasio 4:3 saat Enid menekan tombol di remote yang biasa dia pakai saat menyensor film. Menandakan Enid sedang "menyensor" kehidupannya agar sesuai dengan apa yang dia inginkan.
Ingat ucapan Enid yang berulang-ulang mengatakan "Please be her", Enid mendambakan untuk menemukan Nina kembali. Jadi dia "memaksa" Alice untuk menjadi Nina. Hal ini digambarkan lewat scene dimana Enid dan Alice yang dengan bahagia pulang ke rumah orang tuanya. Namun mereka pulang ini hanya ada di dalam benak Enid saja. Mereka pulang ke rumah, bertemu orang tua, dan kondisi mereka persis seperti gambar di cover kaset film yang Enid lihat di toko rental film, yang menampilkan keluarga harmonis, ada orang tua dan dua anaknya di halaman depan rumah yang langitnya biru dan berpelangi, judulnya The Day The World Began. Jadi apa yang Enid lihat dan ingat dapat menjadi inspirasi dalam membangun dunia imajinasinya. Namun terkadang, kenyataan tentu tidak seindah imajinasi. Jika kalian perhatikan pelan-pelan, dalam beberapa scene terdapat kilasan singkat kurang dari satu detik yang berwarna monochrome yang menampilkan kondisi sebenarnya. Seperti, Alice yang menjerit minta tolong, seolah dia ingin keluar dari "kurungan" Enid yang terobsesi memaksa dirinya untuk mengaku sebagai Nina. Dan juga ada kilasan orang tuanya yang terheran-heran melihat kondisi Enid dan Alice. Namun Enid tetap tenggelam dalam fantasinya, dia buta akan kenyataan, karena dia hanya ingin meyakini bahwa dia telah menebus dosanya, karena berhasil menyelamatkan Nina dan membawanya pulang ke orang tua mereka.
Apakah Enid beneran membunuh produser Doug, aktor Beastman dan sutradara Frederick North?
Ya, tapi dalam kondisi yang berbeda. Kejadian terbunuhnya produser Doug, itu murni kecelakaan, ga sengaja, dalam alibi pembelaan diri, karena saat itu Enid mau diperkosa oleh sang produser. Lalu saat pembunuhan Beastman terjadi, Enid sedang hilang kesadaran bahwa dia berada di lokasi syuting film, Enid berhalusinasi bahwa tokoh Beastman adalah evil dan harus dibunuh. Itu akibat dari terlalu banyak mengkonsumsi film horor, yang akhirnya mengganggu alam bawah sadarnya, yang memang rentan terganggu akibat trauma masa lalunya. Enid terbawa suasana akan plot film Don't Go In The Church yang ditontonnya, yang kebetulan memiliki cerita yang hampir sepenuhnya mirip dengan kisah hilangnya sang adik. Jadi dia beranggapan bahwa Beastman adalah sosok yang telah menculik Nina secara beneran. Sampe lupa kalo itu hanyalah skenario sekuel film Don't Go In The Church. Jadi dalam halunya, Enid "tak sengaja" membunuh sang aktor.
Dan untuk adegan membunuh sutradara, sebenarnya sesaat setelah membunuh
Beastman, Enid tuh udah sadar, ga dalam mode "halusinasi" lagi. Dia tau
kalo dia baru aja membunuh seseorang, dia kaget, dan mencoba untuk tidak
menerima kenyataan, dia ga mau disebut bersalah atas kejadian ini.
Karena menurut pikiran konservatifnya, filmlah yang bertanggung jawab
terhadap kejadian buruk seseorang. Jadi dia melemparkan kesalahan pada
si sutradara, sang filmmaker. Makanya dia bilang : "You did this. It's all your fault!".
Dalam benaknya saat itu adalah semuanya salah si Frederick North
sebagai filmmaker yang membuat film-film sadis, sehingga film tersebut
dapat mempengaruhi seseorang untuk ikut melakukan kejahatan serupa di
dunia nyata. Begitu pula dirinya, yang "termotivasi "oleh film Don't Go
In The Church dan film Beastman. Jadi motifnya lebih kepada pelampiasan,
dia kesel ama filmmaker yang bikinin film yang membuat dia jadi jahat.
Padahal mungkin si Frederick hanya pernah mendengar cerita kasus
hilangnya anak di hutan dan terinspirasi untuk mengangkatnya ke dalam
film.
Enid sebenarnya sangat kuat dalam menyaksikan adegan-adegan sadis, dia ga gampang terpengaruh. Bahkan termasuk kejadian nyata pun dia juga ga bergeming, lihat aja saat produser Doug terbunuh, Enid tetap bisa tenang dengan gerakan khasnya yang me-rileks-kan nafas, bahu dan lengannya itu. Tapi film ini ingin menunjukkan bagaimana pertahanan mental Enid yang sekuat itu pun juga dapat roboh jika terus-terusan "diserang" oleh film-film sadis yang dikonsumsinya. Semua itu menumpuk di alam bawah sadarnya, hingga suatu saat akan muncul ke permukaan. Dan film Don't Go In The Church adalah katalisnya, film ini lah yang memicu hancurnya pertahanan mental Enid, karena film ini mempunyai cerita yang sangat mirip dengan trauma hidupnya. Enid, yang sangat profesional dalam bekerja, karena dilandaskan keinginan
nuraninya untuk melindungi orang-orang dari pengaruh buruk film, malah
dia sendiri yang "tak terlindungi" karena saking banyaknya mengkonsumsi
adegan brutal, yang akhirnya malah menjadikannya orang yang selama ini
dia cegah untuk hadir : kriminil.
Disadari atau tidak, plot pembunuhan oleh Enid ini adalah simbol dari otoritas sensorship terhadap para filmmaker. Enid yang profesinya sebagai tukang sensor "membunuh" orang-orang yang berkecimpung dalam dunia perfilman : produser, aktor dan sutradara. Mungkin bagi sebagian filmmaker, kewenangan lembaga sensor terkadang salah digunakan atau berlebihan dalam menyensor film hingga akhirnya merugikan filmmaker baik materiil maupun immateriil. Misalnya bisa jadi aja membatasi kreatifitas, menurunkan estetika dan nilai seni yang telah susah payah mereka buat, atau membatasi pangsa pasar konsumen yang bisa mereka raih. Dalam sebuah wawancara, sutradara film Censors ini juga mengajukan pertanyaan retorika berikut ini :
"If violent films are supposed to drive a person to commit violent acts, what protects the censor from losing control?"
Yang kurang lebih maknanya begini : Kalo sebuah film harus disensor bagian kekerasannya karena dianggap dapat mempengaruhi orang untuk berbuat
kejahatan, lantas gimana dong nasib para tukang sensor? Apa yang bisa
mencegah para tukang sensor film jadi beringas? Soalnya kan mereka-mereka inilah yang konsumsi film terlebih dahulu sebelum edar. Dan mereka fine-fine aja tuh. Jadi ya ga ada jaminan juga kan. Menonton sebuah film dan ada pengaruhnya atau ngga, itu kembali kepada orangnya masing-masing. Masing-masing harus punya self-censorship, diperlukan kedewasaan dalam menonton, tau mana yang baik dan mana yang buruk. Seperti kutipan wawancara beliau lainnya berikut ini :
"Do we think that we're so fragile, that our moral compass is so fragile, that we're going to play a video game or watch a film or read a comic book or listen to some hip hop or Marilyn Manson music and then suddenly decide that we're going to go out and hurt somebody?. The reality is that those aren't the things that make people do violent and awful things to each other. It's actually much easier to blame art, to use art and entertainment as a scapegoat rather than actually try and unpack the social and personal issues that make people become unwell and do these kinds of things to each other."
Yang artinya kurang lebih begini : "Apakah setiap manusia terlalu mudah untuk terpengaruh sebuah karya? Entah film, game, ato musik, yang cuma gara-gara itu trus mereka langsung berbuat kejahatan? Ngga kan? Orang-orang cuma mau gampangnya aja nyalahin film sebagai kambing-hitamnya, ketimbang mikirin lebih dalam apa yang jadi motivasi dan latar belakang pelaku kejahatan tersebut."
Oke sekian dulu tulisan kali ini, sampai jumpa lagi di tulisan berikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar