Part I : Tanpa Spoiler
Mungkin hampir ga akan pernah ditemui film dengan tema relationship yang seunik ini. Pengen tau kenapa? Simak sampe abis ya. Film ini disutradarai Yorgos Lanthimos, seorang sutradara asal Yunani berkelas Oscar lewat film The Favourite. Castnya ada Colin Farrell, Rachel Weisz, Lea Seydoux, dan Olivia Colman. Memiliki rating di IMDB 7,2/10 dan Rotten Tomatoes 87%. Dengan budget hanya $4.5 juta mendulang $15.7 juta di Box Office.
Film ini bersetting di dunia atau masyarakat yang surealis, dimana ada peraturan bahwa setiap manusia harus hidup berpasangan. Jika ga, siap-siap yang jomblo akan dihukum diubah menjadi hewan yang mereka pilih. Seperti judul film ini, The Lobster, hewan ini lah yang dipilih oleh sang tokoh utama, David, yang diperankan oleh Colin Farrell jika dia tidak dapat pasangan. Tapi alih-alih tentang transformasi manusia menjadi binatang, film ini malah bukan menitikberatkan pada hal ini, tapi tentang bagaimana sang tokoh utama berada di kehidupan dengan aturan yang aneh ini. David, baru saja pisah dari istrinya, dia terpaksa harus ikut kegiatan semacam karantina atau pelatihan untuk mencari pasangan. Kegiatan ini digelar di sebuah hotel dan diberi waktu kepada setiap jomblowan dan jomblowati selama 45 hari untuk mendapatkan pasangan diantara mereka para peserta pelatihan. Jika dalam 45 hari mereka masih jomblo, maka mereka harus diubah menjadi binatang.
Sebuah premis yang sangat unik bukan? Kayak film "30 Hari Mencari Cinta", atau film drama cinta Indonesia lainnya, tapi percayalah film ini jauh berbeda. Meskipun sama-sama tentang tema yang hits, kekinian, umum, dan relevan dengan kehidupan nyata, yaitu pemuda galau mencari cinta, tapi sang filmmaker Yorgos Lantimos membuatnya dengan cara yang ga biasa, cenderung absurd dan nyeleneh. Menjadikan film ini segmented banget, ga semua orang bakalan suka. Apalagi Yorgos juga punya ciri khas dalam setiap filmnya yang selalu menampilkan 3 hal "membosankan" berikut ini :
1. Emotionless, setiap tokoh ga pake ekspresi, mau sedih senang mukanya datar gitu-gitu aja, ngomong juga ga pake intonasi, kayak robot.
2. Slow pace, ga terburu-buru, minim suspense.
3. Scoreless, ga ada musik latar, berasa hambar.
4. Metafor and irony, ga langsung to the point mengungkapkan tentang apa filmnya.
Tapi menikmati karya Yorgos bukan pada saat menontonnya, tapi setelah menonton. Yorgos membuat film untuk bercerita dan menyampaikan sesuatu. Filmnya merupakan satirisme dan black comedy dari kehidupan sosial. Bagaimana ia berupaya membuat sindiran dan tamparan terhadap hal-hal umum kemasyarakatan. Meskipun satir tapi ini bukanlah suatu film yang rumit, alurnya linear maju dan bisa dicerna setiap orang, seperti drama pada umumnya. Tapi yang perlu ditelaah adalah makna dari setiap persoalan di dalamnya.
Contohnya ada 2 kubu yang saling berseberangan terhadap peraturan. Society adalah pihak yang mematuhi peraturan, semua masyarakat hidup berpasangan. Sementara Loners, merupakan rebelliance yang berani melanggar, mereka para single yang hidup di hutan karena tidak bisa berbaur di perkotaan. Masing-masing pihak mempunyai aturan sendiri, kelebihan dan kekurangan masing-masing. Akankah David mendapat pasangan atau malah lari ke hutan menjadi Loner? Silahkan temukan sendiri.
Film ini layak diberikan kesempatan untuk ditonton kalo kamu mencari perspektif yang berbeda dari cerita seorang jomblo mencari cinta. Dengan menggunakan tema yang umum tapi bisa disajikan dengan pendekatan yang berbeda, menghasilkan karya yang berkualitas, film-film hebat muncul dari keberanian membuat film diluar arus utama dan eksperimental. Film dengan tema umum tapi dikemas anti-mainstream gini diharapkan dapat menjadi referensi untuk perfilman Indonesia. Meskipun memang agak sulit sih karena demografis selera penonton Indonesia yang sukanya drama yang gitu-gitu aja. Film-film seperti The Lobster akan sama nasibnya dengan David yang kesulitan mencari "pasangan" alias konsumen atau produser di Indonesia. Filmmaker atau produser film Indonesia masih berada pada level "mencari nafkah", membuat film hanya untuk dijual dan mendapatkan profit, jadi membuat film yang sesuai selera penonton Indonesia. Semua ini bisa berubah kalo saja sumbernya alias selera penonton dapat berkembang, sehingga film-film variatif begini bisa laku juga kalo dibuat.
The Lobster sebenarnya adalah pertunjukkan ironi dari seorang jomblo di mata masyarakat. Jomblo mencoba untuk mengikuti kata orang-orang disekitar hanya untuk bisa "sama" dengan mereka, tapi sebenarnya mereka belum siap atau belum ingin memiliki pasangan. Jaman sekarang, ga keluarga, ga temen, ya pasti ada yang nyuruh cepet-cepet nikah atau minimal punya pasangan. Setiap lebaran pasti ditanya, kapan? Bahkan seringkali menjodoh-jodohkan si jomblo hanya karna adanya kesamaan diantara mereka, padahal itu ga signifikan sama sekali terhadap cocoknya seseorang dengan yang lainnya, misalnya sama-sama suka Kpop-lah, sama-sama suka travelinglah, pokoknya apapun yang dianggap "identical", persis apa yang disajikan dalam film. Hotel mendogma peserta agar mencari pasangan yang punya unsur kesamaan, dan ini diimplementasikan langsung oleh manajer hotel yang sama-sama hobi nyanyi dengan suaminya, kemudian si pincang yang rela memukul hidungnya sendiri agar berdarah untuk bisa "berjodoh" dengan gadis pengidap penyakit mimisan, sampai David yang berpura-pura menjadi sosok yang tidak peka akan sekitar hanya untuk bisa mendekati gadis yang memang heartless. Upaya semacam ini adalah cara paling konyol, putus asa dan depresif dalam mempertahankan eksistensi sebagai manusia.
Hukuman menjadi binatang adalah bentuk tekanan sosial dari masyarakat terhadap jomblo. Hanya karena tekanan sosial, jomblo menggunakan segala cara meskipun itu salah, demi dianggap "benar" di lingkungan sosial. Hotel adalah simbol dari society. Liat juga bagaimana hotel memberikan reward dan punishment terhadap peserta dalam setiap pencapaian pesertanya. Untuk reward seperti memberikan kamar yang lebih besar terhadap peserta yang mendapatkan pasangan, bahkan ada juga hadiah sebuah kapal Yacht. Yacht ibarat keluarga kecil yang mengarungi lautan kehidupan rumah tangga yang luas dan menantang. Ini merupakan metafora dari kehidupan masyarakat yang suka memberi pujian dan pengakuan bahwa punya pasangan itu adalah sebuah milestone pencapaian tolok ukur kebahagiaan seseorang, yang kalo ga dicapai tuh hidup berarti belum komplit, yang menganggap bahwa if you are single it is a failure. Sedangkan punishmentnya mereka mengubah manusia menjadi binatang sebagai simbol bahwa society jaman sekarang suka mengucilkan para jomblo seolah-olah mereka juga bukan manusia alias bukan bagian society mereka. The Lobster adalah bentuk extreme dari hal-hal diatas, paham extreme dari kedua kubu, Hotel dan Loners.
Padahal sebenarnya dalam film ini digambarkan ga ada satu pun pihak yang 100% benar ataupun 100% salah, baik Hotel maupun Loners dapat menjadi protagonis maupun antagonis secara bersamaan. Masing-masing mengajarkan apa manfaat, kebaikan dan keburukan dari tiap kebijakan yang diambil. Contohnya seperti Hotel yang menunjukkan demo panggung jika seseorang yang tidak punya pasangan punya resiko tidak ada yang merawat atau menjaga. Atau bagaimana hadiah seorang "anak" bagi pasangan yang sedang "cek-cok", mereka anggap dapat mengurangi pertikaian rumah tangga, karena ini memang bener, pasangan tentu akan mikir 2 kali untuk bercerai kalo udah mikirin nasib anak jika broken home, ga ada yang namanya "mantan anak". Sebaliknya Loners memberikan kebebasan individu untuk memiliki self quality-time tanpa harus ada orang lain yang mengganggu, asal jangan lupa untuk menggali kubur sendiri, haha... Jadi ya tergantung dari sudut pandang masing-masing, apapun yang dipilih akan selalu ada yang nganggap salah di mata society. David yang tidak cocok dalam Hotel, mencoba untuk keluar dari "kandang macan", hanya untuk masuk "ekosistem buaya", yaitu The Loners. David berpikir akan mendapatkan kecocokan dari sisi yang berlawanan dengan Hotel, tapi nyatanya yang ia dapati ga demikian, tetap ada aturan-aturan yang memberatkan ketika ia malah dapat pasangan disana. Jomblo ga sepenuhnya selalu bisa mengikuti perkataan society untuk harus punya pasangan karena memang merasa lebih baik sendiri dulu, dan sebaliknya jomblo juga ga bisa terus-terusan menjadi Loners yang hidup menyendiri karna sesekali bisa merasakan kesepian dan mendambakan bahu untuk disandar, eeaaaa.....
Part II : Berisi Spoiler
Film ini mengajarkan bahwa cinta dan pilihan untuk hidup berpasangan semestinya datang dengan sendirinya, dan murni dari keinginan orang tersebut, tanpa ada tekanan dari manapun. Dan cinta yang sejati adalah cinta yang tulus, saling mengasihi dan menyayangi apa adanya, bukan dari unsur kesamaan atau unsur-unsur ga penting lainnya. Dan ga selamanya juga apa yang kita liat orang berpasangan itu "benar", bahkan ada hubungan yang palsu, tidak dilandaskan atas cinta yang sebenarnya. Ini disindir lewat scene para Loners yang nyelinap masuk kamar manajer Hotel dan kemudian menyandera mereka berdua. Mereka "ngetest" cinta pasangan ini dengan sebuah pistol. Mereka mengancam akan membunuh mereka berdua, unless sang suami kalo suami mau hidup, dia harus tembak istrinya dengan pistol tersebut. Tanpa banyak pikir, dalam sekejap mata sang suami tega mematik pistol untuk membunuh istrinya, tapi ternyata pistol itu kosong ga ada peluru. Ini adalah kemenangan besar untuk Loners yang berhasil membuktikan kalo prinsip Hotel itu palsu dan tidak absolut. Begitupula saat David nyelinap ke Yacht untuk mengungkapkan kebohongan si pincang di depan cewek mimisan dan menyarankan mereka untuk saling jujur dalam relationship. Kepalsuan juga tak hanya ada pada orang yang berpasangan tapi juga orang yang sahabatan. Ini disampaikan melalui scene si cewek mimisan yang BFF-an dengan cewek rambut pirang. Pada hari dimana cewek rambut pirang akan di eksekusi menjadi binatang, ia menuliskan surat untuk sahabatnya, yang berisi unek-unek dia terhadap cewek mimisan yang cuma mentingin diri sendiri, sok pamer, sok baik, padahal akting doank. Banyak toh kita temui yang ginian di dunia nyata, sok-sok akrab depan orang atau di sosmed, padahal dalam hati ngedumel, di belakangnya sirik-sirikan, haha...
True love sebenarnya diuji saat ending. Jika saja David menyadari bahwa "kesamaan" bukanlah patokan "cinta", maka semua akan happy ending. Tapi sayangnya David udah terjebak dalam tekanan sosial dan terdoktrin untuk bisa masuk dalam masyarakat harus berpasangan hingga tidak menyadari bahwa sebenarnya yang dia lakukan dan rasakan saat pertama kali wanita itu awal-awal mengalami kebutaan, dengan berada di sampingnya, menghibur dan membantunya, itulah true love-nya, ironi bukan... Begitu pula si wanita, jika saja dia mengerti tentang cinta sejati, seharusnya dia tidak meminta David untuk ikut membutakan matanya, melainkan harus terima keadaan dengan ikhlas dan menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada David mau kemana hubungan ini dibawa selanjutnya. Jika David juga punya true love, mencintai dirinya apa adanya, maka tentu ia akan mengerti bahwa hubungan itu lebih besar dari apa yang ditanamkan oleh society.
At last, ending film ini masih (sengaja) menggantung, dengan scene sang wanita yang terus menunggu, menunggu dan menunggu. Diserahkan kepada penonton untuk memberikan asumsi masing-masing. Ada 3 pilihan :
1. David beneran membutakan matanya, tapi kemudian karena buta dia ga tau jalan untuk kembali ke meja sang wanita, begitupun ia tak dapat lagi melihat yang mana wanitanya duduk.
2. David ga mau membutakan matanya, dia mesen gojek kemudian kabur meninggalkan sang wanita sendirian. Toh juga si wanita ga bisa ngeliat dia pergi.
3. David tidak membutakan dirinya, tapi berpura-pura bilang kalo dia buta. Ini agak mendekati true love sih, karena David mau menerima pasangannya apa adanya dan berbohong untuk kebaikan bersama. Dengan dia tetap bisa melihat, dia dapat menjaga sang wanita. Mereka hidup bahagia selamanya, eeaaa.... Tapi sayangnya opsi ketiga ini sulit terwujud, karena ntar diliat society mereka "tidak sama", malah dilaporkan ke polisi dan ditindaklanjuti.
Akhir kata ada pertanyaan yang bagus dari David dalam film ini :
"Mana yang lebih mudah? Pura-pura gak punya perasaan padahal cinta? Atau pura-pura cinta tapi ngga?"
Dan pada akhirnya, society doesn’t care.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar