Ya, kenapa Indonesia, kenapa? Selain The Raid movies dan Pintu Terlarang, kenapa sih Indonesia ga bisa bikin film yang dapat menjadi perbincangan movie mania di berbagai belahan dunia? Maksud saya bukan film yang berprestasi di festival film ya, yang saya maksud adalah “Cult Movies”. Apa itu cult movies akan saya jelaskan di paragraf lain setelah ini. Kalau bicara festival film, Indonesia memang pernah beberapa kali mempunyai wakil yang berprestasi di festival film luar negri, tapiiiii....tapi nih ya, film-film tersebut menurut saya, menurut saya lho ya, ini subjektif dari sudut pandang saya sendiri, yang mungkin bisa dan sah saja berbeda dengan yang lain, menurut saya film Indonesia belum mempunyai ide cerita yang unik. Sebut saja yang baru-baru ini meraih penghargaan adalah film “Marlina : Pembunuh Dalam Empat Babak”, yang sinopsis ceritanya menurut saya masih ordinary alias umum, tentang balas dendam, tapi ga tau ya kalau nantinya (mudah-mudahan) bisa menjadi cult atau ga karena ini baru rilis. Termasuk juga film-film Indonesia lain yang meraih penghargaan Festival Film Internasional di tahun-tahun sebelum ini, rata-rata masih bersinopsiskan drama keluarga atau kehidupan sosial. Beberapa kadang hanya berupa film pendek atau berkutat di film dokumenter saja. Yang saya masih ingat adalah Donny Damara nyabet Best Actor di Asian Film Festival dari film Lovely Man yang sinopsisnya tentang drama keluarga seorang ayah transgender kepada putrinya.
Gambar : newsth.com
Ya, tulisan ini mungkin memang ga penting-penting amat untuk dibaca, ini hanyalah rasa gundah gulana saya sebagai seorang movie mania yang mengharapkan filmmakers Indonesia dapat membuat film yang bisa menjadi perbincangan di seluruh dunia. Film-film yang bagaimana yang saya maksud? Film yang mempunyai ide cerita yang original, yang beda, berkualitas, atau cerita yang unik, out of the box, anti mainstream, weird ato bahkan bizzare. Tentu bukan film-film action atau sci-fi seperti film hollywood yang visual effectnya sangat canggih, karena ya you know lah, urusan teknologi, perfilman Indonesia ketinggalan sangat jauh, 20, 30, bahkan tertinggal 50 tahun kebelakang dari Hollywood. Lihat saja, tahun 90an Hollywood sudah bisa membangkitkan Dinosaurus dari kuburnya lewat film Jurassic Park, dan tahun 70an bahkan Hollywood sudah bisa terbang ke luar angkasa lewat Star Wars-nya. Jelas dari sisi VFX ini perfilman kita tak bisa diharapkan dapat menyusul dengan cepat dalam jangka waktu dekat. Filmmakers Indonesia pada umumnya masih bergantung pada pangsa pasar lokal, karena mereka berhubungan dengan produser yang hanya melihat dari segi keuntungan semata. Apa yang sedang disukai oleh penonton di Indonesia, itulah yang terus dibuat. Film-film Indonesia yang laris itu ya ceritanya itu-itu saja, tak lebih dari drama percintaan, cinta segitiga, atau masalah religi dan poligami, biografi pejabat atau sejarawan, komedi garing bullying, dan horor setan-setanan. Bahkan sebagian besar film itu diisi aktor-aktrisnya itu-itu aja, dia lagi, dia lagi, apa cuma dia yang bisa akting dari 250 juta penduduk Indonesia ini?? Hanya lokasi syuting aja yang berubah-ubah, meskipun lokasi syuting itu diluar negri, bagi saya itu tak cukup mengangkat filmnya jadi spesial, karena cerita masih ga berkembang, hanya nontonin artisnya jalan-jalan Eropa atau Amerika.
Menurut teman saya Nendra, selain faktor produser dan pangsa pasar lokal, faktor lain yang menyebabkan filmmakers Indonesia enggan membuat film yang unik adalah karena tidak adanya sistem rating atau nilai kualitas sebuah film di Indonesia layaknya Rotten Tomatoes atau Metacritic. "Prestasi" film di Indonesia sepertinya lebih diukur dari jumlah penonton, lihat betapa seringnya postingan di sosial media atau internet tentang capaian jumlah penonton sebuah film Indonesia, seolah-olah jumlah penonton menjadi sebuah kebanggaan, dan pertanda film itu bagus, padahal ngga jaminan sama sekali. Maka ada baiknya jika kita mempunyai sebuah wadah/forum yang menilai, mengkritik dan memberikan rating untuk film-film Indonesia seperti Rotten Tomatoes agar para filmmakers dapat termotivasi untuk terus memperbaiki kualitas film mereka atau menciptakan sebuah film yang unik dan menjadi perbincangan dunia.
Menurut teman saya Nendra, selain faktor produser dan pangsa pasar lokal, faktor lain yang menyebabkan filmmakers Indonesia enggan membuat film yang unik adalah karena tidak adanya sistem rating atau nilai kualitas sebuah film di Indonesia layaknya Rotten Tomatoes atau Metacritic. "Prestasi" film di Indonesia sepertinya lebih diukur dari jumlah penonton, lihat betapa seringnya postingan di sosial media atau internet tentang capaian jumlah penonton sebuah film Indonesia, seolah-olah jumlah penonton menjadi sebuah kebanggaan, dan pertanda film itu bagus, padahal ngga jaminan sama sekali. Maka ada baiknya jika kita mempunyai sebuah wadah/forum yang menilai, mengkritik dan memberikan rating untuk film-film Indonesia seperti Rotten Tomatoes agar para filmmakers dapat termotivasi untuk terus memperbaiki kualitas film mereka atau menciptakan sebuah film yang unik dan menjadi perbincangan dunia.