Duet Maut Bernilai Sosial Tinggi
: Sharlto Copley – Neill Blomkamp
Hai guys..pasca lebaran ini
bawaannya diri menjadi lebih baik dong, terutama mengenai sisi sosial kita.
Kita akan merasa lebih bersih, suci, lebih penuh kasih, lebih mempunyai rasa
ingin berbuat kebaikan, baik untuk diri sendiri maupun kepada orang lain. Oleh
karena itu, ane kali ini mau mengangkat tema sosial dalam film. Yang terlintas
pertama kali dalam pikiran saya kalo ngomongin film berbau sosial, ane langsung
teringat ama film District 9. Jujur ane bilang, ni film buat mata ane
berkaca-kaca, bodo deh mau kalian bilang ane cowok tapi kok nangis, haha…
memang ni film sedih banget. Nah, bermula dari District 9, maka ane mendapati
figur yang mau ane angkat dalam postingan film berbau sosial kali ini. Ada 2
orang, mereka adalah duet aktor dan sutradara, Sharlto Copley dan Neill
Blomkamp. Keduanya terlibat di 3 film yang mengangkat tema sosial : District 9
(2009), Elysium (2013), Chappie (2015).
Oke mari kita mulai dari mengenal
siapa sih sebenarnya mereka bedua? Kok sibuknya bikin film tema sosial aja?
Profil yang sama dari mereka berdua adalah mereka sama-sama berasal dari satu
kampung guys, yaitu di Johannesburg, Afrika Selatan. Kalo kita mendengar kata
Afrika, opini yang umumnya keluar adalah negara miskin dan tertinggal. Mungkin
hal ini lah yang menjadi dasar ide dari duet Copley-Blomkamp untuk membuat film
tentang masalah sosial di Afrika.
Selain Afrika Selatan, yang kita ketahui
memang Afrika Selatan adalah negara maju yang penduduknya sudah bercampur
dengan pendatang (termasuk Copley dan Blomkamp sendiri adalah orang kulit
putih) dan bisa menggelar event sekelas Piala Dunia, negara-negara Afrika
lainnya tidaklah semaju Afrika Selatan, masih banyak negara Afrika yang
penduduknya miskin dan tertinggal, bahkan ada negara disana yang nilai mata
uangnya sangat jauh lebih rendah dari mata uang dunia, harga sepotong roti atau
sebutir telur disana bisa jutaan angkanya guys..kalo lebih mahal lagi seperti
elektronik harganya milyaran, gibehhh…. Mungkin karna mereka berdua hidup dan
besar di daerah yang kental dengan masalah sosial makanya mereka berniat
mengangkat isu tersebut ke bentuk film.
Berbicara soal film-filmnya,
menurut saya ada 3 masalah inti yang mereka angkat ke dalam film, yaitu pertama
rasisme, kedua kesenjangan sosial dan yang ketiga masalah tingkat
kriminalitas. Masalah sosial yang pertama
adalah isu rasisme, ini yang saya petik dari film layar lebar pertama mereka
berdua : District 9. Rasisme adalah isu yang menyinggung masyarakat kulit hitam
dengan kulit putih disana. Common issue dewasa ini soal rasisme adalah
masyarakat kulit putih suka mengolok-olok masyarakat kulit hitam, orang negro
menjadi bahan ejekan, adanya diskriminasi ras, membeda-bedakan sesuatu atas
warna kulit, masyarakat kulit putih merasa mereka mempunyai “kelebihan” dari
segala sisi dibandingkan dengan masyarakat kulit hitam. Isu rasisme ini tak
hanya berlaku di Afrika, tapi justru telah meluas ke seluruh dunia.
Dimana-mana
masyarakat kulit hitam dikucilkan. Dalam hal pelayanan hak-hak sosial juga dibeda-bedakan. Sampai-sampai dalam dunia persepakbolaan juga terjadi kasus
rasisme, dalam pertandingan sepakbola yang ada pemain kulit hitamnya pernah
beberapa kali penonton melempari lapangan dengan kulit pisang dan mengeluarkan
nada seperti suara monyet, hal ini pun memaksa badan sepakbola dunia FIFA untuk
mengkampanyekan damai “Say No To Racism” di setiap event sepakbola. Uppsss…kok
malah ke sepakbola ya? Hehe..maaf…kan masih lebaranan..
Ayo kembali ke laptop,
eh ke filmnya, District 9 itu ceritanya berlokasi di Johannesburg, Afrika
Selatan. Disana terdampar pesawat induk alien yang sangat besar , rusak hanya
melayang diudara dan tak bisa terbang kembali ke planet asal aliennya. Jadi
aliennya mau tak mau terpaksa tinggal menetap di Johannesburg. Aliennya berjumlah
banyak banget guys, satu kecamatan keknya, haha…mereka disini divisualkan
seperti hewan udang yang mempunyai badan setinggi manusia, jelek, kurus, jorok,
bodoh (padahal sebenarnya ngga, hanya ga bisa berkomunikasi dengan bahasa
manusia, mreka mempunyai bahasa sendiri). Selama mereka tinggal 20 tahun
disana, mereka diperlakukan tidak manusiawi. Mungkin karna hal-hal negatif
tadi. Mereka hanya diberikan tempat tinggal gubuk kecil, mereka makan dari
sampah-sampah sisa masyrakat. Lama-kelamaan para alien ini makin bertindak
menjurus membahayakan penduduk setempat. Ada yang melakukan pembunuhan,
pemerkosaan, hingga kerusuhan merusak fasilitas umum. Mungkin karena mereka
juga menginginkan hak sosial yang lebih layak dari yang selama ini diberikan
pemerintah setempat. Para alien ini bermukim di daerah kumuh yang diberi nama
District 9.
District 9 ini dikelola oleh perusahaan MNU. Dalam film ini MNU
berusaha merelokasi para alien ke tempat lain yang jauh dari penduduk setempat,
dikarenakan penduduk sudah mulai resah dengan keberadaan alien yang menjurus
kriminal. Selain bertujuan merelokasi, ternyata MNU juga mempunyai tujuan
tersembunyi, yaitu untuk memiliki dan meneliti teknologi alien tersebut, alien
itu terdampar juga membawa senjata juga guys.
Konflik intinya terjadi ketika
salah satu pegawai MNU, Wikus Van Der Merwe, yang diperankan langsung oleh
Sharlto Copley, tertular cairan alien saat hendak mengusir para alien.
Gara-gara itu dia mulai berubah bentuk menjadi setengah manusia setengah alien.
Dengan kondisi seperti itu, Wikus dikucilkan oleh teman-teman dan keluarganya,
bahkan dia mau dijadikan bahan eksperimen perjabat MNU lainnya.
Mengetahui hal
ini Wikus berontak, bersembunyi dan berkoalisi dengan alien. Jadi Wikus pun
merasakan bagaimana tidak enaknya menjadi alien, banyak adegan kesedihan
setelah Wikus benar-benar menjadi teman alien, sampai-sampai dia rela berkorban
mati melawan tentara MNU untuk memberikan jalan bagi Christopher, temen
aliennya, untuk melarikan diri dan membawa terbang kembali pesawat induk ke
planet asalnya. Fiuhhh…pembuat film ini bener-bener sialan dah, maksudnya
sialan bisa banget bikin ane sedih, mereka pasang backsound yang bikin
merinding mengiris hati paling dalam, ada 2 adegan yang ane maksud, yaitu
adegan ketika anak Christopher minta pulang ke planet asal dan ketika Wikus
berkorban diri melawan tentara MNU.
Well…film ini menurut saya mengajarkan bagaimana kalo seandainya kita yang berada di posisi jadi orang ras
yang dibeda-bedakan tersebut, pasti sangat tidak enak rasanya bukan, maka alangkah
baiknya kita tidak membeda-bedakan ras, atau dalam hal ini bisa kita perluas
pengertiannya seperti respect, saling menghargai, jangan melakukan diskriminasi, membeda-bedakan perlakuan atau pelayanan
dan pergaulan kita berdasarkan ras, suku, agama, strata sosial maupun derajat
ekonomi. Bukan begitu bukan? Hehe…
Lanjut ke film kedua yaitu
Elysium. Film ini sama aja, bikin gue mewek endingnya bangke banget tu jagoan
pake berkorban mati pula si Matt Damon-nya, haha… Jadi ceritanya tuh ni film tentang kesenjangan
sosial. Diskenariokan di jaman beberapa tahun kedepan, orang-orang kaya hidup
di luar angkasa, mereka dibuatin tempat tinggal yang seperti mininya surga, eh
kalo ga salah juga Elysium artinya surga bukan ya? Di tempat itu memiliki satu
fasilitas kesehatan yang bisa mengobati segala macam penyakit dan kerusakan
tubuh, diberi nama Kapsul Medis, cukup tarok orang yang sakit baring diatasnya,
kemudian discan dan sembuh deh. Saking ajaibnya fasilitas kesehatan ini bisa
bikin muda kembali bahkan sampai mengembalikan wajah rusak akibat ledakan.
Ajaib beuet yak…
Nah ni alat yang menjadi konflik inti film. Orang-orang miskin
yang tinggal di bumi tidak berhak untuk menggunakan alat itu guys. Matt Damon
tadi disini berperan sebagai Max, orang bumi yang tertular radiasi mematikan
dan membutuhkan alat itu untuk sembuh. Apapun ia lakukan untuk dapat terbang ke
Elysium dan ke Kapsul Medis untuk sembuh. Sang sutradara Neill Blomkamp memberi
bumbu action laga dan tembak menembak serta visual effect futuristik yang saya
akui sangat keren untuk membuat ini film bernilai lebih tak hanya bernilai
sosial. Selain bumbu action, ada sedikit diselipin bumbu politik juga dengan
adanya Mentri Pertahanan Elysium, Ny. Delacourt, yang berencana mengkudeta
Presiden Patel, ia dibantu dengan tentara bayaran Agen Krugger yang sadis. Nah
disini kita akan melihat akting berbeda dari Sharlto Copley guys, dia jadi Agen
Krugger yang sadis itu, bolela…cukup meyakinkan kok, apalagi sepertinya ia
nge-gym untuk nambahin berat badan dan kegarangan badannya sebagai tentara.
Krugger dan Delacourt lah yang menjadi hambatan Max untuk menduduki Kapsul Medis,
namun Max punya sesuatu yang sangat berharga didalam kepalanya, yaitu data
reboot sistem Elysium buat kudeta tadi. Di endingnya Max mengorbankan dirinya
lewat upload data di kepalanya untuk membuat seluruh warga bumi tercatat sebagai warga Elysium dan berhak atas
pelayanan Kapsul Medis. Owh…pahlawan banget…
Ya menurut saya film ini ingin
menyampaikan masalah kesenjangan sosial, entah itu di Afrika maupun di seluruh
dunia, bahwa pelayanan medis yang baik itu selama ini hanya hak orang kaya
saja, orang miskin tidak dapat menikmatinya. Film ini mempunyai impian
seandainya saja memungkinkan bagi orang miskin juga mendapatkan pelayanan
kesehatan yang baik, sehingga semua manusia sehat walafiat tanpa ada
kesenjangan sosial, berharap ya kalo memang orang kaya punya peralatan yang
bagus buat mengobati semua orang, ya bole lah digunakan juga oleh rakyat
miskin. Meskipun kita tau sih sebenarnya alat itu mahal, namun ya biaya yang
mahal itu lah yang ditanggung bersama semua orang kaya, anggap saja sumbangan
dari orang-orang yang kelebihan duit mensubsidi buat orang yang kekurangan
duit, sistem gotong royong, begitulah kira-kira, hehe…maaf kalo salah.
Okey..lanjut ke film ketiga,
Chappie. Dari namanya aja udah kayak judul film anak-anak yak. Ya memang itu
adalah nama seorang anak. Tapi anak ini bukanlah anak manusia. Melainkan robot
guys. Sebenarnya film ini mengangkat tema maraknya kriminalitas yang terjadi di
Afrika. Namun Blomkamp mengemasnya dalam bentuk action comedy berbau sedikit childish,
hehe. Jadi ceritanya begini, di Johannesburg, lagi-lagi Jo-burg guys, tingkat
kriminalitas tinggi, untuk mengantisipasi hal ini pemerintah setempat
memperkerjakan polisi robot, yang menurut mereka kerjanya sangat bagus dalam
menangani para penjahat. Robotnya bisa bergerak sendiri sesuai perintah.
Nah,
si Deon, ilmuwan muda yang membuat ni robot, berhasil membuat Artificial
Intelegence (AI) sendiri untuk robot, artinya robot bisa punya pikiran sendiri
tanpa harus diperintah. Keberhasilan Deon ga didukung ama atasannya, jadi dia
diam-diam ngambil robot bekas yang rusak untuk dia tanam tuh AI ke dalamnya.
Sehingga robot itu lahir dan bermula seperti bayi, bayi yang pintar, daya
tangkap dan daya belajarnya sangat cepat, robot itu diberi nama Chappie dan
Chappie disini diperankan oleh Sharlto Copley. Dalam beberapa hari saja
Chappie sudah bisa bertindak selayaknya orang dewasa, bahkan cukup tangguh.
Namun yang menjadi masalah disini adalah Chappie tadi tumbuh besar dibawah
asuhan para gangster penjahat disana, Ninja dkk.
Ninja mengajarkan dia cara
menjadi perampok, haduh… Proses
“pengasuhan” ini dibumbui dengan unsur komedi yang lucu, membuat penonton
tertawa. Namun tawa berubah kesedihan ketika film memasuki bagian akhir.
Terjadi baku tembak dengan robot raksasa, Moose, yang dikendalikan oleh Vincent
Moore, ilmuwan lain saingannya Deon di dalam perusahaan. Moose membuat para
pengasuh Chappie tewas, yakni Yolandi yang jadi mamanya Chappie dan Amerika
yang jadi pamannya Chappie. Huuuaaa….sedih banget….Blompkamp pandai banget
memainkan perasaan sedih penontonnya, awas loe ya, haha…
Film ini menyampaikan
bahwa lingkungan sangat mempengaruhi seseorang dalam membentuk kepribadiannya.
Tingkat kriminalitas yang tinggi di Afrika bisa saja disebabkan karena pengaruh
lingkungan yang buruk seperti yang digambarkan dalam film ini, lingkungan yang
penuh dengan kekerasan, berandalan, gangster, pengangguran, pendidikan yang
rendah, kemiskinan, untuk hidup mereka harus berjuang mati-matian menghalalkan
segala cara. Mungkin Copley dan Blomkamp berharap lingkungan yang buruk ini
dapat diperbaiki, agar lebih kondusif dan positif dalam memberikan pengaruh
kepada orang-orang di dalamnya.
Selesai…hehe…maaf ya kalo ada
salah dalam penafsiran reviewnya. Mudah-mudahan kita dapat mengambil hikmah dan
pelajaran yang positif dari nilai-nilai sosial yang disampaikan oleh film-film
td. Saya pribadi mengacungkan jempol untuk Sharlto Copley dan Neill Blomkamp
atas dedikasi mereka membuat film yang memuat unsur sosial disaat serbuan
film-film yang hanya menarok kepentingan komersial. Mereka berdua cerdas, dapat
mengemas film sindirian sosial dengan unsur action, komedi dan sci-fi sehingga
film mereka pun juga enak untuk ditonton secara komersial. Bagaimana menurut
pendapat kawan-kawan? Komen ya, hehe…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar