Rabu, 30 Agustus 2017

Review : Seabiscuit (2003) : Lebih Dari Sekedar Drama Pacuan Kuda (By Muhammad Ilham - JMFC 041)

Film tentang pencapaian memang menarik untuk disimak, terutama dalam bidang olahraga, it's sort of my thing you know, entah itu fiksi ataupun dari kisah nyata baik biografi maupun sebuah kelompok secara keseluruhan, beberapa favorit saya ada Rush (2013), Greatest Game Ever Played (2005), Coach Carter (2005), Remember The Titans (2000), etc. Seabiscuits sendiri sebenarnya film yang bisa dibilang lawas (hitung hitung udah satu dekade rilisnya) namun saya sendiri baru tertarik untuk menontonnya sekarang, salah satu penyebabnya adalah tema “kuda” yang memang agak asing bagi saya, namun karena genre sport adalah salah satu dari main genre saya, jadi apa salahnya kalo dicoba, okay lets talk about the movie, Skadaddle…...

Gambar : joblo.com

The Story
Dengan latar belakang era Depresi Besar, seorang anak yang ditinggalkan orang tua yang mempunyai passion menjadi jockey, seorang animal trainer yang tak dikenal, dan pengusaha sukses yang depresi akibat kematian anaknya, ketiganya dipertemukan oleh seekor kuda undersize alias mungil untuk ukuran race horse yang tidak pernah dihargai, yang sering di abused dan diremehkan serta dijadikan kuda sparing bagi kuda unggulan. Ketiga pria dan seekor kuda ini bersatu dengan ambisi untuk membuat hal yang tak mungkin menjadi mungkin, mampukah mereka melakukannya?


My opinion
Seperti di awal saya bilang tema olahraga berkuda sedikit asing bagi saya, dimana selama ini saya kebanyakan menyantap 3 jenis olahraga yang paling sering dijadikan film biografi di Hollywood yaitu American Football, Bola basket dan Baseball, karena 3 olahraga ini termasuk yang paling populer di Amerika, namun pada era awal 1930an yang dikenal dengan nama era Depresi Besar. FYI, era Depresi Besar yang diawali oleh kejadian Black Tuesday tepatnya pada 29 Oktober 1929 adalah dengan jatuhnya Wall Street dimana harga saham benar-benar anjlok yang mengakibatkan panik jual sehingga harga saham semakin menukik dan memberikan efek yang teramat besar bagi perekonomian dunia, dimana di Amerika sendiri 25 persen penduduk kehilangan pekerjaan yang mengakibatkan mereka kehilangan tempat tinggal sehingga mengharuskan mereka untuk hidup di jalanan berbekal dengan mobil dan sedikit barang saja, #CMIIW


Pacuan kuda menjadi hiburan yang populer di era itu. Kehilangan pekerjaan dan rumah membuat masyarakat mencari utopia dimanapun letaknya, pacuan kuda merupakan salah satu nya. Pertemuan ketiga pria yang pada dasarnya babak belur oleh kehidupan. Dan Seabiscuits menjadi lem perekat bagi ketiganya. Diisi oleh aktor dan aktris yang cukup bernama seperti Jeff Bridges (Tron Legacy, Big Lebowsky), Chris Cooper, dan yang pasti Tobey Maguire (Spiderman Trilogy). 

Yang benar-benar diperhatikan dalam film ini karena Seabiscuits adalah film yang tak lama di rilis setelah Spiderman 1, maka film ini menjadi ajang pembuktian bagi Tobey kalau dia tak hanya mampu memainkan peran Peter Parker, namun juga mampu berakting dalam film serius. Penampilan Tobey yang menurut saya sudah lumayan bagi pendatang baru di kala itu tampaknya belum bisa menuai pujian baginya oleh para kritikus. Jeff Bridges memainkan sosok ayah yang mencari pelampiasan dan pelarian setelah kematian anaknya plus veteran Chris Cooper (Ocotber Sky, American Beauty) sebagai animal trainer yang penyendiri dan pendiam, keduanya gemilang dalam memainkan perannya masing-masing plus Elizabeth Banks (Power Rangers, Walk Of Shame) sebagai pemanis dan William. H macy (Cellular, Wild Hogs, Jurrasic Park III) dengan penampilan yang cukup komikal (dan akhirnya diganjar nominasi Oscar di tahun itu).

Gambar : uncanny.ch
Yang menjadi highlight dalam film ini tentu gambaran pacuan berkuda yang ditampilkan, karena ini adalah film pertama saya mengenai olahraga pacuan kuda sehingga belum ada pembandingnya. Menurut kacamata saya bagaimana visualisasi balapan kuda dalam film ini begitu luar biasa, camera-angle pada saat race yang diambil dari jarak dekat memberikan sensasi kejelasan dan feel kepada para penonton bagaimana sesungguhnya pacuan kuda berlangsung. Bahaya dan aksi fisik serta kebrutalan dalam persaingan antar Jockey pun digambarkan dengan jelas. Kehandalan sang sutradara dalam meramu sinematografi dalam film ini pun dapat diacungi jempol. Penempatan footage foto hitam putih dalam menjelaskan keadaan pada era depresi menambah kesan autentisitas dalam film ini, beberapa adegan terutama dalam film terutama adegan dimana Charles Howard memeluk jasad anaknya yang terbujur kaku dengan suara tangisan yang pelan will rip your heart.

Namun pada akhirnya tema dan atmosfir dari film inilah yang memenangkan hati saya, kesan warm dan tone yang segar sebagai ciri khas sebuah film keluarga membuat Seabiscuit memukau dan mampu menjadi therapy bagi kita yang lagi stress. It's an award movie but still fresh and easy.

My Personal Opinion : 7.5/10

3 komentar:

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...