Senin, 17 Februari 2020

Review 1917 (2019) : Cuma Perlu 30 Menit Buat Bilang Film Ini Sebagai One of The Best!


Foto : Poster 1917

Iye...cuma perlu 30 menit elu tonton ni film untuk kemudian lu bergumam..gile ni film bagus beuet yak..

Hai...long time no see...very-very long.. Apakah perlu dijelaskan kenapa? Hehe..

*Siapa elu?? Emang lu artis? Emang orang kepoin elu??!*

Ya ga sih..saya memang bukan artis, tapi ijinkanlah saya menjelaskan kenapa agar pembaca tau, karena saya menyadari masih ada teman-teman pembaca yang setia mampir disini sesekali.. Saya lama tak menulis karena sejak 2018 saya mulai berkarya di Youtube, yang cukup menyita waktu luang saya, yang biasanya saya pakai untuk menonton film dan menulis review, tapi saya pakai untuk menulis skenario, syuting dan editing.

Oke saya coba nulis review lagi deh, mudah-mudahan ada waktu saya yang cukup banyak untuk bisa menulis lagi disini, biar jari ga kaku ngetik, hehe.. Nah beberapa minggu lalu, saya menonton sebuah film yang sebenarnya digadang-gadang sebagai best contender dalam Piala Oscar, yaitu 1917. Saya nonton saat filmnya masih mode "Sneek Peak Preview", hanya satu-satunya showtime, late night pula, tapi demi kepuasan akhirnya tetep dijabanin dah nonton. Khawatir juga sih kalo-kalo malah ga tayang sama sekali di pekan-pekan berikutnya, karena film kekgini jarang laku di Indonesia, penontonnya dikit. Sudah menjadi kebiasaan kalo jelang Oscar bioskop di kota saya akan menayangkan satu atau beberapa film nominasi Oscar, dan tahun ini 1917 yang hadir duluan. Review global sih bilang ni film luar biasa. Penasaran? Tentu! Apo nian sih yang buat dio bagus? Hehe... Well...inilah dia.. yang mau liat trailernya klik disini.

Tenang aja, ga spoiler kok...


Film ini menceritakan dua kopral Inggris bernama Scho dan Blake yang terlibat dalam perang dunia pertama melawan Jerman di perbatasan Perancis. Mereka diberi tugas oleh Jendral untuk membawa pesan kepada kompi yang menjaga di area depan dekat desa Ecoust. Mengingat pesan itu sangat penting, maka mereka harus cepat sampai kesana. Yang jadi konflik adalah perjalanan ke desa Ecoust itu akan tidak mudah karena mereka hanya berdua melewati wilayah yang mungkin masih ada musuh dan jebakan disana. Jadi perjalanan ini lebih bisa disebut sebagai "Suicide Mission". Apakah mereka berhasil sampai?

Yang jadi kuju utama dari 1917 adalah karena dia itu film yang tampil dengan (sepertinya) one-shot atau sekali take aja dari awal sampai akhir. Kalo kalian masih ingat dengan pemenang Oscar juga, Birdman (2015), nah dia seperti itu juga, cuma bedanya ini film perang bro! Sebuah tantangan tersendiri bukan bikin film perang tapi one shot. Kesamaannya adalah filmnya ga total one-shot, cuma memang mereka melalukan continous-shot yang panjang-panjang dan kemudian mereka men-trick penonton untuk menyajikan seolah one-shot dengan teknik editing atau seamless transition, transisi yang halus banget sehingga penonton ga tau kalo itu adalah 2 scene yang disambungin. Orang-orang awam akan heran dengan gimana caranya mereka membuat one-shot itu. Sedangkan saya yang memang suka nontonin cinematic video sih udah familiar dengan istilah seamless transition, ala-ala Sam Kolder, tapi kalo saya lebih suka Benn TK dan JR Alli. Apalagi saya memang sampai mempelajari tutorial gimana cara bikin seamless transition, ya memang udah ga heran lagi kenapa bisa one-shot.

GIF : Scho Running
Sepanjang film saya menemukan scene-scene yang saya duga dimana letak transisi tersebut, seperti banyaknya orang-orang lalu lalang melewati frame kamera saat kedua aktor berjalan. Nah disitu dalam proses editing bisa dibuat walk-by transition namanya, orang-orang yang lewat itu badannya di "masking", yang kemudian bagian maskingan tersebut diisi dengan scene sambungan berikutnya. Teknik masking ini juga berlaku untuk scene-scene dimana ada sesuatu objek yang melewati frame kamera, atau sebaliknya, kamera yang melewati objek tersebut, seperti pagar berduri saat kedua aktor baru menapak maju perjalanannya, atau saat kedua aktor memeriksa rumah kosong yang mana tembok dan jendela bisa menjadi objek yang melewati frame dan di masking. Menurut saya, teknik ini yang paling banyak digunakan. Selanjutnya ada juga teknik frame blocking namanya, ya objek ngeblock seluruh area frame. Biasanya teknik ini juga dikombinasikan dengan match cut, alias antara kedua scene harus punya kemiripan seperti warna atau gerakan. Dalam film bisa kalian liat saat kedua aktor masuk ke dalam bunker ada scene dimana semua layar hitam gelap. Kemudian saat terjadinya ledakan dimana abu atau asap ledakan ngeblocking semua area frame kamera. Terakhir kalian juga bisa temukan saat Scho naik ke mobil truk, transisi dapat dilakukan dengan menyelipkan diantara movement kamera melewati baju tentara. Terakhir ada teknik motion cut, dimana saat kamera bergerak cepat, akan tercipta gambar yang agak blur alias kabur. Nah saat ini lah bisa dijadikan transisi dengan membuat gerakan blur yang sama pada scene berikutnya. Dalam film contohnya seperti Scho berlari di malam hari desa Ecoust. Terakhir ada transisi match cut, saat Scho terjun ke sungai itu di cut dan disambung antar 2 scene yang berbeda. Nah pertanyaannya, ada berapa potongan? Sutradara Shawn Mendez bilang kalo syuting terlama mereka adalah 9 menit. Jadi tentu ada banyak potongan yang mereka lakukan.

Meskipun digelar one-shot, mereka tetap memikirkan unsur sinematografinya kok, mulai dari angle-angle yang menarik sampai kepada pencahayaannya. Selain kualitas teknik, film ini sendiri juga memiliki kualitas cerita. Meskipun ini film perang, tapi plotnya sangat berbobot dan dapat dinikmatin setiap orang, dan kita sampai terbawa kedalam emosi yang dirasakan oleh kedua aktor utama. Akting mereka yang bagus ditambah scoring yang menyayat hati menambah poin bagi film ini. Tapi jangan harap ada banyak tembak-tembakan atau peperangan dalam film ini, karena this is not that kinda war movie, hanya ada sesekali tembak-tembakan, tapi percayalah itu lebih dari cukup untuk membuat dirimu gregetan. Hati-hati juga terhadap momen Scho bertemu dengan seorang wanita mengasuh bayi, karena ini dapat memaksa air mata anda keluar sembari menyadari bahwa inilah peperangan yang tidak ada sisi baiknya seperti kata pepatah "There is no winner in war". Sungguh pemandangan yang sangat tidak enak melihat suasana tentara berperang. So kepada para pejabat negara manapun, janganlah anda memicu perang! Anda masih punya nurani kan?

Foto : Blake
Dalam perhelatan Piala Oscar kemarin, mereka berhasil menang di kategori yang memang sudah diprediksi, yaitu Best Sinematografi. Bahkan juga Best Visual Effects. Wajar kok, karena memang halus banget setiap transisinya bener-bener presisi yang sangat akurat, dan beberapa efek yang dibuat juga seperti sangat nyata hingga kita sulit menyadari kalo itu adalah visual effects. Beda dengan nominasi lainnya seperti The Lion King atau Avengers Endgame yang kita tau itu scenenya hasil CGI atau visual effects komputer lah. Sayang tapi sutradaranya Sam Mendez ga menang Best Director, saya sih masih kurang setuju atas kekalahannya dari Bong Joon Ho, karena sebagai filmmaker saya tau betapa sulitnya pasti kerja keras Sam dalam mengarahkan film sebagus dan sebeda ini. Sedangkan Bong sih filmnya biasa, drama, cuma memang Bong menyelipkan banyak filosofi filmmaking dalam filmnya Parasite.

Overall film ini menurut saya adalah salah satu film yang wajib kamu tonton dalam hidup kamu. Kalo ngga, merugilah kalian, hehe... Oke sekian dulu review saya kali ini ya, semoga aja ini menjadi titik awal kembali saya menulis review. Doakan saja. See you on the next review.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...