Rabu, 08 Desember 2021

Review non spoiler film The Medium (2021) : Datar di awal, dahsyat di ending.

Di sebuah wilayah di Thailand sana, terdapat masyarakat rural yang dalam hidup mereka masih sangat percaya dengan dunia mistis. Mereka menyembah dewa dan melakukan ritual-ritual penyembahan. Perdukunan juga adalah hal yang lumrah, banyak warga yang datang untuk "berobat" ketika ada sakit yang ga bisa diobati secara medis. Bahkan ada satu jenis dukun khusus yang dipercaya bahwa dirinya sebagai tempat bersemayam roh baik, Dewa Ba Yan. Inilah kenapa judul film ini The Medium, ceritanya akan mengisahkan tentang gimana manusia sebagai medium tempat bersemayam roh.

Dewa Ba Yan ini dipuja dan dipercaya sebagai pelindung desa. Dia akan pindah tubuh dalam tiap generasi, secara turun temurun dari keluarga si dukun yang jadi mediumnya. Saat ini, Dewa Ba Yan bersemayam di diri Nim, seorang ibu-ibu yang memang menjadi dukun medium Ba Yan sebagai warisan dari keluarganya.
 
Pada suatu ketika, ponakan si Nim yang cantik bernama Mink, mulai menunjukkan gejala dan tingkah laku aneh yang ga biasa, seperti marah-marah emosian, lalu ada juga dia diam dengan tatapan kosong. Dugaan mereka adalah Mink sedang dirasuki roh, dan yakin bahwa roh tersebut adalah Dewa Ba Yan yang ingin berpindah medium ke diri Mink. Mereka pikir ini adalah saatnya bagi mereka untuk mewariskan "kedukunan" khusus tersebut kepada Mink.
 
Namun Mink dan ibunya menolak, mereka ga mau Mink jadi dukun. Mink adalah sosok anak muda yang kekinian, hidup senang-senang dalam dunia modern dan ga percaya ama hal-hal mistis. Dia ga ingin berprofesi sebagai dukun, terlebih lagi saat ini dia punya pekerjaan kantoran. Lantas, gimana jadinya jika menolak keinginan Dewa Ba Yan ini? Akankah nasib Mink yang kesurupan bisa normal kembali?
 
Filmnya menggunakan konsep mockumentary, yaitu film yang dibuat ala-ala dokumenter gitu tapi dokumenternya fiksi, apa yang diliput itu fiktif, ga resmi, ga ada di dunia nyata, jadi hanya "pura-pura"aja itu beneran ada kisahnya dan nyata. Dan film ini menjadikan kisah dukun khusus tadi sebagai objek yang diliput. Jadi ada tim liputannya, ada wawancara-wawancaranya juga.
 
Di paruh pertama film hampir sepanjang durasinya datar-datar aja, tidak terlalu bernafsu untuk ngumbar-ngumbar kehororan, bahkan hampir ga ada jump-scare. Mereka banyak melakukan wawancara dan liputan. Semua kehororan disimpan di sepertiga akhir film, ditumpuk disana semua, dituangkan secara non-stop hingga ending, dia seperti ga mau membagikan sedikit tease adegan horor ini di paruh pertama film. Maka dari itu, penonton harus sedikit bersabar untuk mengikuti kisahnya. Mungkin agak membosankan di paruh pertama ini karena berkesan terlalu seriusan dan terkesan seperti sedang menonton film dokumenter tradisi budaya.
 
 
Namun konsep mockumentary ini memberikan efek yang berbanding terbalik di paruh kedua filmnya. Di paruh kedua film, peran "dokumenter" ini malah jadi sangat membantu menaikkan level kehororan. Karena mereka itu kan liputan, jadi ada banyak adegan yang ditampilin seolah-olah hasil rekaman dari kamera tim peliput, seperti kamera cctv yang dipasang dirumah Mink, dan kamera yang dipegang oleh kameramennya langsung. Video dari kamera si kameramen ini istilahnya adalah found footage, jadi ya berasa kita jadi si kameramen yang pegang kamera itu. Kita berasa ada disana live saat kehororan terjadi. Segala hal dan kejadian yang menakutkan itu ada di sekitar kita, kita liat dengan mata kita sendiri, bahkan juga menuju ke kita, kita yang diserangnya! Jadi bagian ini lah yang paling berharga dari film ini. Makanya ada temen yang nanya : "Dimana sih letak bagusnya nih film? Udah 1 jam membosankan", ya saya jawab singkat : "Di ending"
 
Bener memang apa yang temen tersebut bilang, apa yang dia rasa juga saya rasakan, bosan di awal. Tapi semua terbayar di ending yang betul-betul dahsyat. Jadi wajar jika jadi bahan omongan penonton setelah selesai menontonnya. Mungkin ini yang menyebabkan filmnya mampu bertahan selama 5 pekan di layar bioskop Indonesia. Sesuatu yang sangat jarang diraih oleh film non blockbuster hollywood. Waktu saya nontonnya di bioskop itu di akhir pekan ketiga, itu pun masih rame.
 
Tapi ya sayang juga sebenarnya kalo di awal-awal film ga dikasih sedikit adegan-adegan yang men-tease horornya. Padahal kan mereka punya kesempatan untuk itu. Mink sudah kesurupan sedari paruh pertama film. Tapi ya kembali lagi kepada filmmakernya, yang mungkin mau fokus story building aja dan nyimpan semuanya untuk ending.

Film ini merupakan garapan kerjasama lintas negara, dimana skenarionya dari sutradara The Wailing, Na Hong Jin (Korea), dan di sutradarai oleh sutradara film horor Thailand, Shutter, yaitu Banjong Pisanthanakun. Nah ada satu kesamaan film ini dengan The Wailing, yaitu mereka sama-sama mengusung tema "keimanan atau keyakinan". Kalo di film The Wailing adalah tentang tes keimanan, apakah mereka beriman dan percaya ama Tuhan dan iblis? Nah di film The Medium adalah tentang krisis keyakinan, mereka sendiri apakah yakin ama Dewa yang mereka sembah?
 
Sekian review kali ini, sampai jumpa di review selanjutnya. Huuuuuu........


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...