Kamis, 05 Maret 2020

Review Captive State (2019) : Film Politik Interogatif Yang Dibungkus Kedok Invasi Alien

Ya, Captive State yang dinahkodai sutradara blockbuster 2011, Rise of The Planet of The Apes, tidak tampil untuk menonjolkan sisi sci-fi, melainkan menyajikan cerita politik yang menggunakan invasi alien sebagai katalisnya. Alih-alih banyak visual efek dan action, film ini justru dominan pada drama investigasi. So, bagi kamu yang ngarep ini film invasi alien kayak Independence Day, segera mundur. Tapi kalo kamu suka Se7en dan Hunger Games, film ini bole kamu coba tontonin. Kalo mau liat trailernya dulu klik disini.

Poster Captive State
Awalnya alien datang pada 2019, seperti plot umum kalo alien udah datang, image-nya pasti mau nge-invasi bumi. Begitupula dalam film ini, hanya saja proses mereka menginvasi dan segala pertempuran yang terjadi tidak masuk dalam kisah. Hanya menyisakan 1 adegan alien membunuh orang tua dari kedua tokoh utama, yaitu Gabriel dan Rafe. Film ini selanjutnya melakukan time-jump 8 tahun setelah kejadian tersebut, dengan sequence berisi slide show dan potongan footage seperti demo, pejabat pidato, pembangunan tembok, dan sebagainya. Penonton diharapkan bisa mengerti sendiri apa yang terjadi selama itu, manusia kalah dan alien menang. Di tahun 2027, alien adalah penguasa di bumi, dengan sebutan Legislator. Manusia hidup di bawah peraturan hukum mereka. Yang tidak patuh, dead. Legislator beraktifitas di dalam area bawah tanah yang disebut Closed Zone. Dan hanya pejabat atau otoritas lembaga negara yang boleh masuk ke dalamnya. Dibawah perintah Legislator, manusia terpaksa bekerja mengeruk sumber daya alam bumi untuk mereka, manusia jadi budak di tanah sendiri.



Setiap yang namanya penjajahan, pasti ada yang berontak, dalam film ini disematkan pada organisasi bernama Phoenix. Siapa Phoenix? Apa yang mereka rencanakan? Dan berhasilkah? Inilah yang menjadi plot utama film ini. Ada sebuah pesan diawal film yang diduga merupakan pesan ketua Phoenix yang bunyinya kira-kira begini : Ini pesan terakhirku, tujuan kita tetap sama, yaitu menyerang Closed Zone, dan menyulut peperangan". Tugas Phoenix menyerang Closed Zone tentu tidak mudah, Phoenix bukanlah pemberontak yang punya alat militer untuk menyerang. Mereka low-budget rebellion, haha.. Jadi ini yang bikin rumit, mereka punya rencana yang sangat rahasia dan terorganisir. Komunikasi antar anggota dilakukan hanya lewat kode person-to-person. Apa langkah setelah langkah sebelumnya tergantung sampai atau tidaknya pesan si A ke B, trus ke C dan seterusnya.
Grup Band Phoenix 😅
Menariknya, konfliknya dibuat tidak gampangan, adanya pihak kepolisian setempat cukup merepotkan tahap penyerangan. Adalah Detektif Mulligan, yang sangat sabar dan teliti dalam menelusuri cara kerja dan rencana organisasi Phoenix ini. Mulligan sangat pandai dalam melakukan penyelidikan dan interogasi, santuy tapi tepat. Kadang sesekali dia juga selangkah lebih awal, yang membuat kerja Phoenix makin berat. Belum lagi kemunculan prajurit alien yang sangat menakutkan, beneran sih, aliennya datang emang cuma sekali-sekali, tapi sekali itu sungguh menakutkan. Selain tentang konflik eksternal, Phoenix juga diselimuti konflik internal, antara kakak-beradik Gabriel dan Rafe. Rafe sepertinya adalah "pejabat" penting dalam organisasi Phoenix, dengan tampang sangarnya itu, dia tak takut mati, dan jiwa leadernya juga sangat menonjol. Berbeda dengan adiknya Gabriel, yang masih ragu untuk mengikuti jejak kakaknya untuk terlibat pemberontakan.

Mulligan : Mau makan apa bro?
Saya ga bisa bicara lebih banyak mengenai plot, karena hilang ntar keseruannya. Yang jelas, seperti judul diatas, film ini menurutku lebih mirip sebagai film politik, yang dapat menjadi perumpaan di kehidupan nyata tentang penguasa dan penjajah dan apa yang terjadi pada rakyat yang dijajah, mereka bisa lakukan apapun, selagi masih ada api yang bisa disulut. Cara melawan penjajahan juga tidak selalu hanya lewat gencatan senjata, tapi juga lewat diplomasi dan bahkan lewat gerilya. Ada satu kata yang berkaitan dengan politik yang ga bisa saya sebutkan karena it is a massive spoiler. Jika kamu sabar mengikuti alurnya, rasanya film ini menarik kok. Rencana Phoenix yang kita ikuti sampai habis itu terbayar ketika tau endingnya, nobody see the twist and not bad! Akting para cast juga lumayan bagus meskipun diisi nama-nama yang ga populer. Setiap tokoh meskipun cuma tampil sekilas tapi mempunyai peran krusial dan saling terkait. Orang-orang ini udah merelakan hidupnya untuk misi ini, apapun hasilnya, berhasil atau gagal. Mereka terdiri dari banyak latar belakang pekerjaan, mulai dari mantan marinir, hacker, montir cantik, dokter bedah, hingga ke bapak-bapak dan anak kecil sekalipun. Yang mengganggu di film ini adalah gaya visualnya yang dibuat mayoritas handheld, jadi goyang-goyang gimana gitu, padahal adegannya cuma bercakap-cakap. Belum lagi alur cerita dibuat non-linear, suka dipotong-potong sequence-nya padahal belum selesai. Kemudian dicampur atau diselipun di sequence lain. Yang menurut saya kalopun dibuat ga ngacak gini, akan lebih bagus terlihat drama interogasi dan perjalanan rencana pemberontakannya.

Well..that's it ya..see you on next review..  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar