Minggu, 29 Mei 2016

Review Film : Keramat (2009) Sebuah Film Yang Lebih Dari Sekedar Horor (By Nendra Pratama)

Review ini berangkat dari sebuah slogan yang selama ini sering kita lihat dan dengar yaitu "Cintailah Produk – Produk Dalam Negeri“. Wait, ada apa dengan slogan itu? Tunggu sebentar *colokin headset* *play Musim Yang Baik*. Oke, inti dari slogan tersebut adalah mengajak kita untuk mencintai, setelah itu memakai produk dalam negeri, nah, karena ini forum film maka kita khususkan pada produk atau film dalam negeri. 

Gambar : id.wikipedia.org

Mengacu pada slogan diatas, entah kenapa saya langsung mengaitkannya dengan analogi seperti ini, kalian kenal Dian Satro? Nadia Hutagalung? Atau Scarlett Johanssen dan Sharon Carter? Sekarang saya tanya, apakah kalian pernah disuruh mencintai mereka? Kalau saya jujur saya tidak pernah ada yang menyuruh untuk mencintai Sharon Carter, tak pernah ada, apalagi sampai ada yang menyuruh saya mencintai kamu, iya kamu hehehhe, tapi satu hal yang pasti, mereka, Dian Satro, Nadia Hutagalung, Scarlett Johanssen, Sharon Carter ataupun kamu memang layak untuk dicintai, karena itu biarpun tidak ada yang menyuruh untuk mencintai kalian, kami tetap mencintai kalian sepenuh hati hahahaha...




Kembali ke film dalam negeri, jika memang sineas – sineas kita mampu menghadirkan film yang layak untuk dicintai maka jangan suruh kami untuk datang dan antri di bioskop, karena kami akan datang, lihatlah AADC 2, tanpa komando kami antri, karena apa? Karena film itu memang layak dicintai (ditonton). Dan dari sekian banyak film dalam negeri khususnya yang bergenre horror, maka KERAMAT adalah satu dari sedikit film yang layak dicintai, walaupun ini masih subjektif, namun film ini mampu menghadirkan rasa dan nuansa baru di perfiman horor Indonesia. 

Setelah JAILANGKUNG dan KUNTILANAK 1 otomatis perfilman horror di Indonesia diisi oleh film – film horror yang sangat menegangkan, menegangkan dalam arti sebenarnya bikin tegang, hahahaha...namun KERAMAT hadir dengan ide yang benar – benar orisinil, ide yang lahir dari budaya dan kepercayaan yang sampai sekarang masih dapat dengan mudah kita jumpai.

Satu hal yang membuat saya jatuh cinta pada film ini adalah kejeniusan sang sutradara sekaligus penulis, *bighug* Monty Tiwa, yang dalam film ini juga berperan sebagai Cungkring, si pemegang kamera yang darinya kita dapat gambaran nyata dari film ini. Kalau boleh mengatakan mungkin film ini terinfluence dari CLOVERFIELD yang rilis setahun sebelum film ini rilis, dalam hal ini adalah ide dasar cerita dan penggunaan kamera, namun Monty Tiwa membuatnya menjadi sangat Jawa hehehehe...

Cerita film ini dibuka dengan sekelompok anak muda dari sebuah rumah produksi dan berencana membuat film dengan lokasi di Jogjakarta, diantara rombongan tersebut ikutlah Poppy dan Cungkring sebagai bagian dari Behind The Scene film. Nah melalui kamera yang dibawa si Cungkring inilah kita diajak berkenalan dengan tokoh – tokoh yang ada, yaitu, Migi dan Diaz sebagai artis untuk film Menari Diatas Angin”, Miea sang sutradara dengan obsesi menang penghargaan dan cerewet, Sadha, asisten sutradara yang kalem, Dimas manajer produksi, dan Brama talent local asal Jogja.

Diawal film kita akan disuguhkan video documenter perjalanan layaknya video karyawisata milik anak SMA, kisah mulai terasa menarik ketika mereka tiba di penginapan, bagaimana mereka mendengar suara tangisan, suara gamelan, dan lain sebagainya. Oh iya, film ini tanpa music scoring, jadi kita akan disuguhkan suara yang benar – benar alami, bagaimana suara Cungkring yang berada dekat kamera terdengar lebih keras dari suara yang lainnya dan ada suara ayam, jangkrik, deburan ombak, benar – benar alami.

Film ini tidak seperti mayoritas film horor Indonesia lainnya, karena film ini tidak mengumbar kehororan secara sembarangan dan berlebihan, serta tidak mudah ditebak, namun disitulah letak kengerian itu sebenarnya, kita tidak akan pernah tau darimana datangnya horror itu, namun jika kalian mau tonton dalam keadaan remang – remang, maka sensasinya akan sangat maksimal.apalagi jika kalian jeli, menurut kabar, ada hantu sesungguhnya yang ikut nampang di film ini, saya sih gak nemu, mungkin kalau diantara kalian ada yang nemu boleh deh dishare ke saya hehehe....



Adegan yang paling memorable dan tidak mudah dilupakan adalah adegan si Dukun naik motor, itu epic sekali, dan untuk penampakannya siapkan nyali kalian karena kalian akan melihat penampakan yang dekat sekali dengan kamera yang si Cungkring pegang, itu rasanya aduhhh gimana yaaaa...

Film ini juga bukan tanpa cela, setidaknya ada tiga hal yang bisa jadi kelemahan film ini, pertama, tipe film dengan sudut pandang kamera yang dibawa oleh pemainnya adalah suatu kekuatan, namun itu juga merupakan kelemahan, karena kamera itu terlalu shaky, bergetar, ataupun kurang focus, memang ini menambah kesan realistis tapi itu juga bisa menjadi boomerang. Yang kedua, urutan cerita yang terlalu banyak lompatan kosong, ini dapat membingungkan, kembali lagi kepenggunaan kamera, ketika kamera mati lalu hidup lagi kita akan dibawa keadegan yang sama sekali lain dari adegan sebelumnya, dan ini agak memusingkan. Ketiga, Poppy Sovia, yups, si artis yang seksi dengan tato menjalari sekujur tubuh elok nan rupawannya, hehhe...ada apa dengan dia? Bukankah aktingnya bagus? Yupz, aktingnya sangat – sangat bagus, bahkan di film ini juga saya tau kalau orang cantik juga tidurnya bisa ngiler, hahahaha...kembali seperti yang saya bilang tadi, sesuatu bisa jadi kekuatan juga kelemahan, akting Soppy sangat bagus, pendalaman karakter, karena dia memerankan karakternya sendiri, sangatlah kuat, emosinya sampai ke penonton, tapi sangat disayangkan, seandainya karakter ini diperankan oleh artis baru, seperti para lawan mainnya, maka kesan real dalam film ini akan jadi lebih real lagi. Mungkin kita akan percaya kalau ini memang diambil dari kamera para pembuat film yang hilang dalam tragedy Gunung Merapi seperti yang ditampilkan di potongan koran pada akhir film. 


Ehhhh kopi nih udah habis aja, ya itu lah, berhubung kopi sudah habis, dan malam telah larut, saya kembali tekankan, jika memang sesuatu itu layak dicintai, maka tanpa adanya himbauan maka itu akan tetap dicintai. Indonesia butuh lebih dari sekedar film – film yang hanya menakut – nakuti penonton dengan keterkejutan sementara, tapi kita butuh film yang akan tetap dibicarakan, diperdebatkan, hingga akhirnya akan dikenang dan membuat perfilman Indonesia menjadi lebih baik lagi. Semoga..

[Nendra Pratama]

1 komentar: