Kamis, 07 Januari 2016

Review Film Indonesia : Single (By Habibi JMFC 036)

Review Film Indonesia : Single (By Habibi JMFC 036)

Siapa yang tidak kenal dengan raditya dika? Sejak kehadirannya lewat blog pribadi sudah menyita banyak perhatian netizen akan kisah Dika yang menertawakan hidupnya yang selalu gagal dalam percintaan dan memiliki keluarga yang unik menurutnya, sampai pada akhirnya tulisan-tulisan blognya diadaptasi ke buku dan berhasil membuat penggemarnya bertambah banyak. Kehadirannya di rana hiburan memang membawa angin segar, ditengah dunia pertelevisian yang berlomba-lomba menghadirkan program nyeleneh radit hadir dan membawa stand up comedy di Indonesia kembali hidup, tidak cukup sampai disitu tawaran untuk menghibur manusia haus hiburan pun berlanjut ke layar lebar dan mengangkat salah satu buku karyanya berjudul “Kambinng Jantan”, “Cinta Brontaosaurus”, “Cinta Dalam Kardus”, dan “Manusia Setengah Salmon” yang semua bercerita tentang hal yang sama percintaan yang berujung tidak bahagia. Saya rasa tidak perlu memperpanjang tulisan ini dengan mengangkat biografi Radtya dika karena kembali ke kalimat pembuka, siapa yang tidak mengenal raditya dika? Kecuali anda memang tidak pernah ingin tahu siapa dia.
Kembali hadir dengan karya terbarunya berjudul “Single” sudah tentu kita bisa menebak apa yang ingin ditawarkan raditya dika kali ini tanpa harus sok jenius, mungkin sebagian dari kita merasa bahwa Dika benar-benar terjebak dengan ceirta itu-itu saja, menyedihkan, tapi sebagian juga merasa tertantang dengan kejutan apa yang akan dihadirkan Dika kali ini (saya begitu) karena kita tahu Dika bukan berotak dangkal yang hanya bisa menertawakan hidupnya, walaupun terbilang tidak semua karya Dika bisa hadir dengan premis yang menjanjikan, buktinya Dika mampu hadir dengan filosofi kejutannya yang tak terduga dalam “Kambing Jantan”, “Cinta Dalam Kardus” dan “Manusia Setengah Salmon”. Sejak keberhasilannya dalam  menulis skrip dan menyutradarai langsung film “Marmut Merah Jambu” Dika Kembali meyakinkan penonton dalam film “Single” dan mencoba mengangkat cerita yang tidak diadaptasi dari bukunya tapi ingin mendeskripsikan kisah para jomblo dalam Audio Visual dan sekaligus memerankannya.
Dalam film “Single” Raditya Dika adalah pemuda jomblo menahun tanpa pekerjaan tetap bernama Ebi yang tinggal di sebuah rumah kos bersama dua sahabatnya, Wawan (Pandji Pragiwaksono) dan Victor (Babe Cabiita). Dalam usia mendekati kepala 3 (atau malah sudah melewatinya?), Ebi dirisaukan oleh ketidakmampuannya menjalin hubungan dengan lawan jenis lantaran senantiasa kesulitan menciptakan komunikasi yang baik. Kegalauannya perihal asmara ini kian menjadi-jadi tatkala sang adik, Alva (Frederik Alexander), dengan kehidupan jauh lebih mapan dibanding Ebi mendadak memutuskan untuk menikah. Tidak ingin harga dirinya jatuh di depan ibu (Tinna Harahap) yang sempat mengemukakan keinginannya menimang cucu kepada Ebi secara terang-terangan, Ebi pun mulai memberanikan diri mencari pendamping hidup dengan bantuan dari Wawan dan Victor. Perhatiannya tertambat pada Angel (Annisa Rawles), mahasiswi Kedokteran yang baru saja pindah ke kos Ebi. Hanya saja, tidak mudah memenangkan hati Angel lantaran kekikukan Ebi yang mengganggu dan Angel ternyata memiliki seorang ‘abang’ bernama Joe (Chandra Liow) yang terus menerus menghalangi upaya Ebi untuk mendekati Angel. 


Film dibuka dengan adegan klise ala Dika membuat saya tidak begitu merasa film ini “wah” sampai ketika Dika menyanyikan lagu Geisha (Soundtrack film Single) dengan suara yang sumbang berantakan berhasil membuat suasana pecah dan menggelitik, Dika berhasil membuat kita bingung haruskah menertawakan orang yang sedang ditimpa kesialan? Point pertama yang membuat saya jatuh cinta dengan film Single, Dika seolah olah ingin menjelaskan yah realnya nasib jomblo seperti itu, seringkali ditertawakan disaat mereka tidak meminta ditertawakan akan nasibnya yang tidak sebahagia mereka yang sudah punya pasangan.
Dari segi cerita memang tidak ada yang baru dari film “Single”, Dika masih bermain dalam “Comfort-zone” dengan kembali bermain-main di area yang betul-betul sudah dikuasainya diluar kepala, tapi bukan berarti cerita jadi “basi”, Dika tahu betul bagaimana caranya mengeksekusi sebuah “benang merah” dengan berbagai deskripsi cerdas seperti yang kita sudah pernah lihat dari buku-buku atau film-film dika sebelumnya. Tidak sampai disitu saja, Dika juga memanfaatkan kolaborasinya dengan Rumah Produksi yang sudah dikenal paling berani melontarkan budget yang besar ke semua sisi departemen terlibat demi menghadirkan film yang berkualitas. Supaya menopang sisi cerita yang (sudah diketahui Dika) “biasa”, Dika menopang adegan-adegan film menjadi lebih “mahal”, ada adegan kebut-kebutan di jalan raya, disusul adegan terjun payung dan tidak ketinggalan menghadirkan Landscape Pulau Bali yang begitu indah sehingga urusan Sinematografi film ini terasa solid berkat bantuan Enggar Budiono yang menghadirkan visual efek Grande khas Soraya Intercine Film. Tentu ini bukan sekedar gaya-gayaan ala SIF melainkan menjadi penunjang yang sangat membantu sisi carita bahkan lebih mempertajam dan mempertegas guyonan Dika yang selama ini kita lihat sederhana bahkan terlampau sederhana.


Cerita bergulir penuh canda, saya rasa Dika sangat memanfaatkan kesempatan untuk mengeksplor cerita dengan baik, menggarap film sekaligus bermain langsung tentu bukan perihal gampang, dan Dika berhasil membuktikan (lagi dan lagi) kemampuannya diatas rata-rata. Tidak hanya ingin dikenal sebagai Komika, Dika tidak hanya fokus berorientasi dalam banyolan, tapi juga fokus membawa cerita yang diangkat lebih hidup dan memanusiakan para pelakonnya dengan memberi ruang cukup kepada setiap karakternya. dengan mengambil alur lambat film ini hadir tanpa melelahkan pikiran dan tidak berusaha mentendesi penontonnya secara gamblang.  Yang membuat film “single’ terlihat lebih sukses dan terbaik dari karya Dika sebelumnya, timing yang tepat saat mengeluarkan bom-bom guyonan Dika disaat penonton merasa agak lelah dengan alur lambat yang dihadirkan dan menjadikan setiap lawakannya berada di kelas premium. Diperbantukan dengan jajaran pemain yang membuktikan totalitas dan seolah paham betul kapan dan bagaimana menerjemahkan tulisan-tulisannya menjadi lakonan pengundang tawa, seperti Pandji Pragiwaksono, Tinna Harahap, Chandra Liow, dan paling mencuri perhatian berkat celetukan absurd-nya yang tak pernah gagal membuat saya terbahak-bahak, Babe Cabiita. Ditambah garapan musik yang dihadirkan terasa pas dan dapat membawa emosi penonton ke level semestinya menambah kompleksitas film ini.
“Single” bukan hanya film yang menghibur tapi mampu membuat saya melenggang keluar dari bioskop dengan membawa pesan yang disampaikan sambil tersenyum-senyum sendiri mengingat adegan yang tidak mudah lenyap begitu saja dari ingatan, dan mampu menarik saya kembali ke gedung bioskop untuk menertawakan Raditya Dika sekaligus menyelami kalimat-kalimat pesan Dika supaya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Premium!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar