Kamis, 15 September 2016

Cloud Atlas (2012) : Juara Tanpa Mahkota, The Most Complete Movie Ever

Langsung aja to the point, kenapa film ini saya bilang “Juara Tanpa Mahkota”? Karena tak satu pun masuk dalam nominasi Piala Oscar, atau yang biasa disebut dengan istilah Oscar Snubs. Padahal, di festival-festival film mereka banyak mendapatkan nominasi dan juara. Penilaian saya pribadi, media dan pengamat film lainnya juga mengatakan film ini sangat-sangat layak masuk nominasi Piala Oscar atau bahkan layak memenangkan salah satunya. 

 Cloud Atlas
Gambar : yesmovies.to

Lihat saja totalitas para cast-nya yang tampil dalam berbagai jelmaan dan versi, tetap memberikan akting yang terbaik. Termasuk juga sinematografinya yang imajinatif tapi sangat rapi. Belum lagi skenario yang dibuat juga harusnya layak masuk nominasi Best Adapted Screenplay, banyak yang bisa dijadikan “Quotes”, hehe.... 

Ah...pokoknya semua unsur film ini semestinya layak deh, costume design, production design, make-up and hairstyling, sampe skill sutradara yang level dewa yang bisa men-direct semua cast dan element di dalamnya sehingga filmnya dapat diterjemahkan dengan baik. Mereka adalah The Watchowksi Brothers, yang nyutradarain The Matrix dan V For Vendetta. But memang setiap pergelaran Oscar sangatlah ketat, pada tahun itu film ini bersaing dengan Argo, Silver Linings Playbook, Life Of Pi, Les Miserable dan Django Unchained.

Btw, film ini juga sangat komplit, kalian mau Action? Ada. Kalian mau Sci-Fi? Ada juga. Drama, Romance, Fantasy, Comedy, Thriller, Mistery, Twist, Vintage dan Futuristic juga ada. Film ini rakus yah, haha... Rakus dan ambisius ya beda tipis lah, hehe... Ya film ini sangat berambisi untuk show off, menjadikannya film independent dengan budget terbesar sepanjang masa yaitu 100 juta dollar AS. Wajar sih ya sampe segitu duitnya, lihat siapa saja cast yang dipakai, orang-orang Hollywood yang ajib bener : Tom Hanks (Saving Private Ryan), Hugo Weaving (V For Vendetta), Halle Berry (The Call), Jim Broadbent (Harry Potter), Ben Wishaw (In The Heart Of The Sea), David Gyasi (Requiem For A Dream), Jim Sturgess (Upside Down), Doona Bae (Jupiter Ascending), James D’Arcy (Serial Agent Carter), Keith David (Interstellar), Hugh Grant (Notting Hill), dan Susan Sarandon (Twilight). 

Belum lagi untuk membiayai production design-nya, pasti mehong cyin.... Kenapa? Karena film ini ber-setting-kan sebanyak 6 waktu dan tempat yang berbeda! Semua inilah yang menjadi keunikan dan daya tarik film ini.

 Cloud Atlas Quote
Gambar : weheartit.com

Sulit sebenarnya untuk me-review tanpa memberikan spoiler, karena film ini termasuk film yang sulit dicerna, tapi saya akan mencoba sebaik mungkin untuk non spoiler review dan ga panjang-panjang karena filmnya aja udah sangat panjang. Menggunakan non linear narative, ke-6 setting waktu dan tempat yang berbeda tadi bergantian muncul dalam durasi 3 jam kurang 10 menit, kalo ga pandai-pandai mencernanya bakalan membosankan. 

Sepanjang film kita akan dibuat bertanya-tanya ini film tentang apa sih. Curiosity, rasa keingintahuan inilah yang menjadi “cacing” di kail pancing sutradara dalam menyajikan filmnya, kita sebagai penonton adalah sang ikan, hehe..

6 setting waktu tadi adalah :

1840an : Jadul banget ya...kisah disini adalah tentang seorang pengacara muda yang bertemu dengan seorang budak. Pada jaman ini, perbudakan dan perbedaan strata dan ras masih ada. Mereka berlayar diatas sebuah kapal yang kondisinya mengancam hidup mereka.

1930an : Ini vintage era, judul film ini pun dipetik dari judul musik klasik disini : The Cloud Atlas Sextet. Sang komposernya adalah seorang lelaki muda yang terlibat skandal biseksual. Dia mempunyai pacar pria, namun juga selingkuh dengan istri dari mentornya. Yang akhirnya membuatnya melakukan *tuuuuut*, sensor spoiler. Padahal dia sedang berupaya untuk menjadi terkenal.

1970an : Retro ni ye...kalo mau liat-liat masa retro, di bagian ini tempatnya. Disini, ceritanya seorang jurnalis wanita yang tak sengaja bertemu seorang ilmuwan nuklir, yang kemudian membawanya dalam upaya mencoba mengungkapkan skandal proyek nuklir sebuah perusahaan besar, apapun resikonya dia hadapi, termasuk ancaman nyawa oleh pembunuh bayaran. Mulai disini, kita akan mulai menyadari bahwa it’s all connected, ya semua setting waktu dalam film ini mempunyai kaitan satu sama lain meskipun secara tak langsung.

2000an : Nah kalo masa sekarang ini ceritanya ada seorang lelaki tua penerbit buku yang bangkrut, kemudian diasingkan ke panti jompo. Dengan segala daya upaya yang kocak, dia dan temen-temennya berusaha kabur dari sana. Kisah epic-nya ini dibuat menjadi film di tahun 2140an nanti.

2140an : Pada masa inilah kunci paling penting dari ke-6 setting-an ini. 100 tahun dari sekarang, telah ada manusia buatan alias kloningan. Berjenis kelamin wanita, dan mereka diciptakan untuk menjadi budak pramusaji di sebuah tempat makan bernama Papa’s Song. Tapi, ada kelompok pemberontak yang mencoba mengajak salah satu kloningan untuk melakukan suatu perubahan besar. Action futuristik disini cukup memanjakan mata untuk rileks sejenak dari kerumitan cerita film ini.

2300an : Meskipun tahunnya adalah masa depan, tapi pasca post apocalyptic (yang mungkin diakibatkan oleh pemberontakan di masa 2140an tadi) sebagian manusia hidup dengan primitif, tanpa teknologi dan masih ada kanibalisme, dan sebagian lagi hidup dengan sangat canggih dan bersih. Dua sosok manusia dari dua peradaban yang beda ini bertemu dan melakukan perjalanan ke suatu tempat rahasia, mencari kebenaran, yang ternyata adalah *tuuuut*, sensor spoiler, hehe...
Sungguh sangat complicated menyaksikan film yang satu ini. Disatu waktu kita akan terhenyuh dengan nilai-nilai moral yang mereka sampaikan, disisi lain terkadang merasa risih saat melihat restricted part story and scene-nya. Tapi percayalah, bahwa film ini akan sangat memuaskan kalian sebagai movie freaks kalo sudah berhasil menonton dan mengetahui teka-teki kerumitannya. Visual Effect yang ditampilkanpun oke banget.

Jangan lupa untuk pay attention to detail ya, lihat tokohnya, gedungnya dan properti kecil seperti buku atau foto yang digunakan di setiap masa punya kesamaan atau kaitan, atau lihat bagaimana para cast-nya bertransformasi dari masa ke masa, baik sebagian atau total keseluruhan, baik secara fisik yang nyata maupun hanya sebutan dan sebuah foto pajangan. Kadang protagonis, kadang antagonis, kadang yang pria memerankan wanita, yang berkulit hitam berganti kulit putih, yang oriental jadi bule, yang bule malah jadi oriental, 1 cast bisa memerankan 3-6 orang yang berbeda! Gileh...pucing kepala berbie, haha... Kalian ga akan menyangka kalo “si itu” adalah “si ini”, hehe...

Spoiler Warning :
Banyak nilai moral yang bisa kita petik dari film ini. Film ini mengajarkan kita integritas, loyalty, equality, kindness, trust and faith. Tapi ada satu yang menimbulkan pro dan kontra berkat unsur De Javu yang provokatif. Salah satu pesan moral yang disampaikan film ini adalah tindakan kita dalam setiap masa akan membuat efek kepada keadaan dan kepribadian kita di masa lainnya. Jika kita adalah orang yang berbuat kebaikan, maka di masa yang lain kita akan hidup sebagai orang yang baik juga. Tapi jika kita adalah orang yang melakukan kejahatan, maka kita pun akan menjadi jahat di kehidupan lainnya. Tentu ini kontradiktif terhadap ajaran agama yang meyakini ada surga dan neraka pasca kematian. Dengan paham semi-reinkarnasi, film ini mengabaikan apa yang diajarkan oleh agama. Well...IMHO, ini hanyalah sebuah film ya, hanya sebuah hiburan, jangan terlalu dipercaya, tapi percayalah dengan agama yang mengajarkan untuk berbuat kebaikan sepanjang hidup, karena ga akan ada kesempatan kedua di kehidupan lainnya, hanya ada surga dan neraka tempat amal kebaikan kita berlabuh. CMIIW.
See you on next review ya guys...
JMFC 001 – Om Chan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar