Minggu, 17 Januari 2016

Review Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck By Andika Pratama (JMFC 005)

Review Film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck By Andika Pratama (JMFC 005)


Salam JMFC.. Duh,, terlintas saya mulai pusing untuk memulai review sebuah film, kenapa..??? Mungkin saya hanya penikmat yang kadang hanya nikmati saja tanpa mau untuk mengulik lebih lanjut. Ya mungkin bisa dikatakan sebuah kelemahan saya dalam hal memahami film lebih dalam dan lebih detail lagi. karena mungkin saya lebih kebanyakan memahami untuk urusan cinta dengan Wanita..
Hahaha…becanda Om dan Tante… Untuk film yang saya bahas adalah tentang Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk, ya mungkin lain dari teman – teman yang lebih sering membahas Film Impor, tapi saya mencoba mengulas tentang Film Dalam Negeri. Sebab katanya, kalau bukan kita (Indonesia) siapa lagi yang menghargai Perfilman Indonesia. Sebab kualitas film Indonesia sebenarnya sudah sangat Baik dibandingkan beberapa Tahun sebelumnya, mungkin gak semua tapi boleh dikatakan kita sudah bangkit dalam perfilman nasional.



Kenapa saya tertarik untuk membahas Film ini, secara “Judul” membuat penasaran karena adanya penggambungan Bahasa Indonesia dan Belanda tetapi tidak ada unsur orang Belandanya didalam poster film tersebut. Di awal sebelum saya menonton film ini, bayangan awal saya cerita ini hampir sama dengan Film “Titanic” yang mana tentang sebuah kisah Cinta yang berakhir tragis dengan tenggelamnya Kapal tersebut dan Ide maupun Alur ceritanya sama. Tapi ternyata setelah saya nonton, isi film ataupun cerita tersebut tidak sama dan sangat berbeda. Inilah istilahnya Tak Kenal maka tak sayang dan Tak sayang maka tak cinta kalau kita ibaratkan pepatah lama (walapun agak maksa) hehe.. Jujur awalnya saya tidak tahu ini Film ini diadaptasi dari novel mahakarya sastrawan sekaligus budayawan Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau biasa kita menyebutnya “Hamka” dan menjadi film termahal yang pernah diproduksi oleh Soraya Intercine Films dan di sutradara oleh Sunil Soraya, beliau menegaskan bahwa hal itu disebabkan karena harus membuat suasana cerita film tersebut seperti yang dikisahkan pada tahun 1930-an sesuai dengan cerita dari isi novelnya. Selain itu, juga banyak riset dan hal-hal lainnya yang wajib dipenuhi untuk mendapatkan gambar yang maksimal, yang juga membuat biaya produksi tinggi.


Di Film ini saya sangat tertarik dengan keindahan panorama alam dan Adat Minangkabau yang masih asri dan sedap dipandang. Menarik memang karena Film ini berlatarkan Budaya Minangkabau yang sangat kental dengan tradisi dan Agama. Karena jika salah dalam menuangkan kedalam sebuah Film, hal ini bisa mengakibatkan kesalahpahaman tentang makna dari sebuah Adat dan Istiadat. Berat memang kalo sudah menyangkut dengan Tradisi seperti ini, apalagi Budaya Minangkabau sangat menjunjung tinggi nilai – nilai norma yang berlaku hingga saat ini. Memang dalam Film ini ada kultur Budaya yang berbeda yaitu dengan adanya Tokoh Zainuddin (Herjunot Ali) berlayar menuju kampung halaman ayahnya di Batipuh, Padang Panjang. 


Di sana, ia bertemu dengan Hayati (Pevita Pearce), seorang gadis cantik jelita yang menjadi bunga di kampungnya. Kedua muda-mudi (istilah jadul banget ya) itu jatuh cinta. Namun, adat dan istiadat yang kuat meruntuhkan cinta mereka berdua. Zainuddin hanya seorang melarat atau miskin yang tak bersuku (maksudnya disini dia tidak dianggap dari Suku Bugis maupun Suku Minangkabau) karena ibunya berdarah Bugis dan ayah berdarah Minang, statusnya dalam masyarakat Minang yang berdasarkan garis keturunan ibu tidak diakui. Oleh sebab itu, dia dianggap tidak memiliki pertalian darah lagi dengan keluarganya di Minangkabau. Sedangkan Hayati adalah perempuan Minang santun keturunan bangsawan. Dari sini saja sudah berat ya Om dan Tante, ternyata perjuangan cinta pada saat itu sangatlah berat ujiannya, tidak kayak sekarang yang gampang dalam menentukan pilihan cinta, walapun masih ada gesekan dan benturan adat yang dipedomani oleh orang tua mereka, seperti melihat bebet, bobot dan bibit. Tapi inilah yang terjadi saat ini cinta kadang bisa membuat kita hilang arah dan kendali serta bisa membutakan Hati. Apalagi jika cinta bertepuk sebelah tangan dan cinta tidak bisa kita miliki. Jadi cinta yang tulus adalah bagaimana melihat pasangan kita ataupun pasangan (tidak jadi) Bahagia. Beraaatttt banget rasanya..!! Duh jadi curhat colongan ya…. Hahahaha……. Ok kembali lagi ke Laptop…!!


Disini kembali cinta Zainudin diuji kembali yang mana pada akhirnya, lamaran Zainuddin ditolak keluarga Hayati, dan Hayati dipaksa menikah dengan Aziz (Reza Rahadian), laki-laki kaya terpandang yang lebih disukai keluarga Hayati daripada Zainuddin. Kecewa…??? Pasti dan sesaaaakk banget didada ketika orang yang kita cintai menikah dengan orang lain, adakah yang merasakan hal ini teman – teman dikehidupan saat ini…????? (Ada kayaknya ya…). Akhirnya Zainuddin pun memutuskan untuk berjuang, pergi dari ranah Minang dan merantau ke tanah Jawa demi bangkit melawan keterpurukan cintanya. Zainudin bekerja keras membuka lembaran baru hidupnya. Sampai akhirnya ia menjadi penulis terkenal dengan karya-karya masyhur dan diterima masyarakat seluruh Nusantara. Tetapi sebuah peristiwa tak diduga kembali menghampiri Zainuddin. Di tengah gelimang harta dan kemasyhurannya, dalam sebuah pertunjukan opera, Zainuddin kembali bertemu Hayati, kali ini bersama Aziz, suaminya.


Singkat cerita, karena panjanggggg banget kalo diceritain, ntah berapa tissue yang harus terbuang untuk menggambarkan kisah mereka ini. Karena kalo kita resapi bener nie Film memang terasa bumbu – bumbu kesedihan terpancar di segmen ini, hal ini terbukti dengan penonton yang bergelimang air mata. Yang pada akhirnya, kisah cinta Zainuddin dan Hayati menemui ujian terberatnya. Hayati (terpaksa) pulang ke kampung halamannya dengan menaiki kapal Van der Wijck. Di tengah-tengah perjalanan, kapal yang dinaiki Hayati tenggelam. Sebelum kapal tenggelam, Zainuddin mengetahui bahwa Hayati sebetulnya masih mencintainya. Apalagi setelah membaca surat Hayati yang bertulis “aku cinta engkau, dan kalau ku mati, adalah kematianku di dalam mengenang engkau’. Diceritakan ketika kapal tenggelam hingga Hayati ada di Rumah sakit, tidak digambarkan dengan detail bagaimana dramatisnya kapal itu tenggelam yang bisa membawa penonton menjadi lebih dalam lagi untuk meresapi kisah Hayati disini dan menurut saya sepertinya memaksakan dengan singkat tenggelamnya kapal tersebut supaya unsur judul dengan inti filmnya ada dan nyambung. Begitu juga dengan tiba – tiba Zainudin dapat dengan cepat tiba dirumah sakit menemui Hayati. Tapi saya akui dimana zainudin menemui hayati ketika detik demi detik ajal segera datang menjemputnya, penonton dibawa hanyut dalam kesedihan dan berhasil membuat penonton untuk kembali harus membersihkan air mata. Sampai kemudian hayati meninggalkan semua perasaan Zainudin selama ini yang terpendam dan cinta yang masih ada terkubur bersama jasad hayati. Dan menurut cerita dari Novelnya setelah itu Zainudin menjadi seorang yang pemurung meratapi kesedihan yang mendalam hingga kematiannya datang karena sakit yang dideritanya.


Kelebihan dan kekurangan dari Film ini tetap mempertahankan unsur-unsur ethnic yang terkandung, seperti dialog antar tokoh yang menggunakan bahasa daerah dan didukung dengan properti seperti uang, kendaraan, dan ejaan ala tahun 30-an. Unsur komedi dan humor juga sedikit ditaburkan pada beberapa adegan sehingga penonton tidak bosan. Kembali ke penggunaan logat asli Bugis yang diperankan oleh Zainuddin memang mempertahankan ciri ethnic yang terkandung, hanya saja logat yang diucapkan terdengar kurang natural dan malah terkesan lucu. Bahkan di saat-saat sedih pun, penonton menjadi tertawa ketika mendengar logat Zainuddin. Selebihnya sudah baik dan hampir sempurna. Tapi Film ini telah menerima berbagai penghargaan Film yang ada di Indonesia diantaranya Indonesia Choice Award 2014 untuk kategori Actress of the year (Pevita Pearce). Kemudian Festival Film Bandung 2014 untuk kategori Pameran Utama Pria (Herjunot Ali) dan Wanita Terpuji (Pevita Pearce) dan terakhir Festival Film Indonesia 2014 untuk kategori peƱata Visual efek terbaik (Eltra Studio & Adam Howarth).

Kesimpulan yang didapat dari film jenis ini yang diadaptasi dari novel roman angkatan 20-an, 30-an, dan angkatan lainnya memang sebaiknya diproduksi. Apalagi dengan diadaptasinya roman-roman klasik menjadi film dapat menambah wawasan masyarakat Indonesia tentang sastra Indonesia berupa roman-roman klasik – yang terkesan membosankan untuk dibaca. Hal ini saya akui ketika masih SMA harus membedah Novel klasik yang berjudul “Salah Asuhan” karya Abdoel Moeis yang diadaptasi dari latar belakang Minangkabau juga dan pada saat itu pastinya pusing untuk memahami kata – kata roman pada eranya dan memaknai kisah dari cerita tersebut dan seringkali tertidur dalam membacanya. Dengan dibuatnya menjadi film, justru akan lebih menarik minat masyarakat untuk mengetahui sastra Indonesia tanpa harus membaca buku roman-roman klasik yang terkadang terkendala akan bahasa dan ejaan yang tetap dipertahankan pada novel-novel klasik.
Rating 8/10.
Sekian dan terima kasih dari JMFC 005. Jangan lupa komen ya...

3 komentar:

  1. Trims om dika sumbangannya..memang kalo anak budayawan nih filmnya juga budaya ya...hehe..

    BalasHapus