Kamis, 26 November 2015

Review : The Hunger Games Installment By Habibi (JMFC 036)

Review : The Hunger Games Installment By Habibi (JMFC 036)





Mengadaptasi novel best seller ke layar lebar memang menjanjikan keuntungan bagi pengindustri film di dunia, pasalnya novel-novel best seller sudah memiliki fan yang tidak sedikit. Siapa yang tidak tergiur meraih keuntungan? Membagi satu buku menjadi dua bagian dalam film sepertinya sudah disahkan secara melihat dari keuntungan komersil, tanpa harus memikirkan dampak apa yang dihasilkan dari cara seperti itu. 

Mungkin bagi sebagian orang itu tidak perlu dipermasalahkan, tapi bagi sebagian orang lagi itu sangat mengganggu karena mengurangi esensi orisinil dari bukunya, dan saya salah satunya yang merasa kecewa dengan cara perpanjangan yang tidak berarti. But, apa yang harus saya perbuat? Selain pasrah dan tetap menyaksikan kebijakan otoriter dari bisnis perfilman, selain elus dada dan berharap semoga tidak begitu dikecewakan. 



The mocking jay menjadi korban selanjutnya setelah sebelumnya kita dibuat begitu pahit menelan Buku The Hobbit dibagi hingga menjadi 3 bagian, Harry Potter The deathly hallow dibagi menjadi 2, dan beberapa buku hebat yang lain yang diperlakukan sama seperti dua judul yang saya sudah sebutkan.

Saya jadi lupa untuk ke topik inti tulisan ini saya buat, hehehe... flash back kebelakang untuk The hunger Games : Mocking jay part 1 setelah saya menilik dari beberapa review di IMDB (International Movie Data Base) banyak yang kecewa akan hasil drama monoton yang dihadirkan, bertele-tele adalah alasan terkuat kenapa film Mocking jay part 1 dirasa tidak kuat dalam penceritaannya. Saya pribadi belum membaca versi bukunya, tapi apa yang coba dipaparkan dari beberapa orang yang mereview film ini dan sudah membandingkan versi bukunya juga menyatakan hal yang sama. Harapan terakhir adalah menyaksikan bagian akhir dari serial The hunger games dan berdoa semoga endingnya memuaskan.

Dari dua paragraf diatas sedikit cara saya menjelaskan apa yang sebenarnya ingin dipaparkan oleh Penulis buku “The hunger game” Suzanne Collins, bahwa kita hidup dibumi ini sudah takdirnya untuk di atur sedemikian rupa oleh para petinggi-petinggi negeri, untuk di jadikan boneka dari para penguasa setiap bidang, untuk diperas tanpa paksa dari mereka yang haus akan ketamakan, dan selamanya hukum rimba itu tidak akan pernah mati.
Keseluruhan cerita dari The hunger games berkisah tentang masa ketika Amerika Utara musnah, dan dibekasnya berdiri negara Panem dengan Capitol sebagai pusat kota yang dikelilingi oleh 12 distrik digelarlah sebuah permainan yang diberi nama “The hunger games” yang wajib diikuti oleh 24 anak-anak remaja belasan tahun dari seluruh distrik.


Diberi nama Hunger games karena peserta yang menang beserta distrik yang diwakilinya akan memperoleh hadiah berupa makanan yang melimpah dan jaminan hidup yang lebih baik. Tentu ini menjadi hadiah yang sangat menarik dari seluruh distrik karena seantero negeri Panem selalu dalam konndisi kelaparan. Permainan yang disiarkan secara langsung oleh TV ke seluruh penjuru negeri sebagai Reality Show itu bukan hanya acara hiburan semata melainkan dirancang sebagai sebuah hukuman atas pemberontakan yang pernah dilakukan salah satu distrik dimasa lampau. Salah satu anak terpilih dengan cara diundi adalah dua remaja yang bernama Katniss Everdeen (Jennifer Lawrence) dan Peeta Mallark (Josh Hutcherson)  dari distrik 12 untuk bertarung satu sama lain. Dan dari ke 24 peserta hanya ada satu pemenang sehingga hanya ada dua pilihan membunuh atau dibunuh!. 


Mocking Jay part 2 melanjutkan perjuangan dari mereka yang sudah mendapatkan provokasi dari distrik yang tidak pernah dibicarakan yaitu distrik 13 yang dipimpin oleh Alma Coin (Julianne Moore) membimbing Katniss untuk melakukan pemberontakan terhadap kepemimpinan Presiden Snow (Donald Sutherland) dan berjuang menyatukan satu suara ke distrik-distrik lain untuk mendukung Katniss dan distrik 13 sekaligus menyelamatkan Peeta dari genggaman Presiden Snow. 

Apa yang coba dituturkan oleh penulis buku memanglah komplit dan solid, serta menjadi jembatan untk membuka mata kita akan apa yang sebenarnya terjadi ditengah-tengah kita didunia nyata. Tidak usah diragukan lagi untuk kualitas cerita buku trilogi The hunger games memang patut diangkat ke layar lebar, dan dibaca dengan baik oleh produser Joseph drake (Juno, American Pshyco) juga Suzanne Collins sendiri dan mempercayai  Francis Lawrence (I am legend, Constantine) dan sutradara sebelumnya Gary ross (The Hunger Games) untuk menduduki bangku Sutradara.


Francis lawrence rasanya tahu betul film ini harus ditekankan dari sisi dramanya karena menyampaikan apa yang sebenarnya ingin disampaikan empunya novel. Karakter dibangun begitu kuat supaya mendorong kita ikut turut berjuang mencintai dan mendukung Katniss dengan revolusinya, membangun misteri sosok Coin dan karakter pendukung lainnya yang berupaya mengambil keuntungan dari kepolosan Katniss sampai dititik terakhir, memberi kode ke penonton mana yang benar-benar tulus disisi Katniss dan sebaliknya.

Bahkan saya sangat terpukau akan sosok katniss yang menunjukkan perubahan ketidak percayaan dirinya terhadap permainan apa yang sebenarnya dimainkan dan buat siapa perjuangannya ini dilakukan. Di ending film, Francis Lawrence tidak hanya ingin mengakhiri kisahnya begitu saja setelah perang selesai, dia ingin menunjukkan Katniss yang semakin dewasa dan berusaha berfikir selama sisa hidupnya akan apa yang sudah dilaluinya, seolah-olah mengisyaratkan film ini akan berlanjut dengan metamorfosa Katniss dimasa depan, memperjuangkan sesuatu yang memang menjadi haknya (terlihat dari tatapan kosong Katniss yang menatapi Peeta dan anak sulungnya yang sedang bermain dan berlanjut menatapi anak bungsunya seolah berbisik kita harus melakukan sesuatu!).




Saya begitu kagum akan sinematografi yang dihadirkan film terakhir “The Hunger Games” ini, dari semua sisi negara Panem terlihat begitu kelam, ditambah lagi kejutan penggambaran Kota Capitol yang disulap menjadi arena games mengejar Presiden Snow dengan semua tekhnik jebakannya yang membawa kita kembali merasakan keseruan dan ketegangan seri pertama dan kedua film ini.
Namun sayang, kehebatan dari sisi cerita dan sinematografi tidak ditopang dengan laga aksi yang memikat, terkesan hadir sebagai bumbu pelengkap saja dan ketegangan yang dihadirkan sering kali kendor dimana-dimana, twist-twist yang dulu hadir di film pertama The Hunger Games yang begitu membuat kita betah duduk lama tidak dapat lagi kita rasakan, padahal kesempatan itu bisa saja dimanfaatkan sewaktu genderang permusuhan antara distrik 13 dan Capitol ditabuhkan, juga pada saat aksi pencarian Presiden Snow.


Kelemahan selanjutnya hadir disisi cerita cinta antara Katniss dan Gale Hawthorne (Liam Hemsworth) yang benar-benar terlupakan begitu saja di paruh film padahal Gale sudah menunggu masih adakah harapan pada saat menekankan dialog “kita lihat siapa yang akan dipilih Katniss nantinya”, bahkan ucapan perpisahan pun yang saya tunggu-tunggu tidak juga hadir walaupun saya paham kebingungan Katniss di akhir-akhir film begitu ingin dihadirkan sang sutradara. Sebagai film penutup dari seri terakhir The hunger games terasa jauh dari kesan melekat dijiwa, hanya satu yang bisa dibawa pulang kerumah dan kembali mengingatkan kita bahwa hukum rimba akan selalu berlaku di muka bumi, membunuh atau dibunuh, berkorban atau dikorbankan, menjadi manusia yang berhati setengah malaikat atau menjadi manusia berhati iblis seutuhnya, seperti halnya film yang sudah hadir sebelumnya yang juga terinspirasi dari kekejaman manusia di film Gladiator (yang juga menginspirasi Suzanne Collins menulis buku The hunger games)


2 komentar: