Senin, 17 Agustus 2015

Soekarno, Dilema Antara Bangsa dan Cinta. Review / Ulasan By Andhika Tovano (JMFC 006)

Soekarno, dilema antara bangsa dan cinta. 

 

Ditulis oleh Andhika Tovano (JMFC 006)
Berhubung suasana hari kemerdekaan nih gaesss.... JMFC 006 - Uwo bakal coba ngulik-ngulik dikit tentang film indonesia yg udah pernah beredar. Yaitu film "Soekarno".
Tokoh proklamator dan pahlawan bangsa indonesia Soekarno akhirnya difilmkan. Setelah sebelumnya kita ketahui sudah ada film tokoh bangsa yg difilm kan seperti Gie, Sang Pencerah, Sang Kyai dan masih banyak lagi. Tentunya nih, utk menggarap film biografis Soekarno tinggal soal waktu. Mungkin nanti bakal ada juga daftar yokoh atau pahlawan indonesia yg bakal di garap. Entah itu M.Hatta, syahrir, dan banyak lagi. Bisa jadi pahlawan Jambi sendiri nih gaes, seperti Sutan Thaha Sjaifuddin, Legenda Orang Kayo Hitam, Datuk berhala dan lain2.

Tentu kita ga perlu repot-repot menjelaskan siapa Soekarno. Dari SD sampai kuliah, kita selalu disuguhi pelajaran sejarah yg didalamnya pasti ada tokoh ini. Nah......Soekarno-nya Hanung, adalah yang paling pertama mengangkat sosok sang proklamator di layar lebar sebagai film biografi. Btw emang sih, sebelumnya, karakter Soekarno lebih sering menjadi bagian dari cerita yang lebih besar. Seperti Usmar Ismail di tahun 1955, membuat film "Tamu Agung" yang mengejek Soekarno sebagai calon diktator. Anehnya, di saat sejumlah suara meminta film itu dilarang, Soekarno malah tertawa-tawa menyaksikannya di istana. Mungkin karna tokohnya kurang menjiwai Soekarno kali yah? Hehehehehee....  Dan beberapa kali juga mini seri di televisi bertema sejarah proklamasi diputar sekitar tanggal 17 agustus. Kisahnya ga baru. Ujung-ujungnya Soekarno dan Hatta tengah ditekan para anak-anak muda radikal yang tak sabar supaya kemerdekaan dideklarasikan di tengah ancaman Jepang.


Di film Gie misalnya, potret dari tokoh Soekarno cenderung negatif: seorang penguasa tua yang hobi kawin. (Maklumlah, pada saat itu belum ada aturan2 tentang poligami di tubuh birokrasi) bahkan di saat  kekuasannya memasuki pasca-peristiwa G30S. Gambar seperti ini diperkuat lagi dengan pembangunan setting sosial seperti antrian beras dan rakyat kecil yang penyakitan. Singkatnya, panorama buruk ‘Demokrasi Terpimpin.’ Situasi seperti ini juga ditemukan di film Years of Living Dangerously (Peter Weir, 1982), di mana tokoh Soekarno, dilihat dari sudut pandang seorang wartawan Amerika, berada di tengah-tengah polarisasi politik antara PKI dan tentara, seraya tak henti-hentinya membangun Jakarta menjadi kota mercusuar untuk New Emerging Forces. (Aduh...berat banget bahasa gw yak...??)

Lalu sosok Soekarno yang seperti apa yang ditawarkan Hanung Bramantyo?
Kisah "Soekarno: Indonesia Merdeka " (selanjutnya Soekarno) dimulai dari masa kecil Soekarno sampai pada saat-saat dimana naskah proklamasi dibacakan. But.... bagian terbesar dari film ini mengambil masa-masa di mana Soekarno diasingkan, jaman pendudukan Jepang, hingga persiapan proklamasi kemerdekaan. 
Di bagian awal film, kita menyaksikan masa kecil Soekarno. Sesuai dari sejarah yg banyak berkembang : ia sakit-sakitan sehingga harus ganti nama, dari Kusno ke Soekarno. Nah.... Dari paparan singkat tentang masa kecil itu segera beralih ke masa di mana orientasi intelektual dan politik Soekarno mulai terbentuk. Tinggal dalam kos-san legendaris milik HOS Tjokroaminoto bersama Musso dan Kartosuwiryo, singkat diperlihatkan perjumpaannya pemikiran-pemikiran politik di jamannya.  

Ada yg sedikit menggelitik bagi gw di film ini. Pada adegan dimana ada seorang gadis "Londo" alias Belanda teman sekolah Soekarno bernama Mien. Bukan Mi'ing yah.... Yang berdialog seperti ini : “Kusno, apakah kamu seorang Marxis?” tanya Mien, Soekarno kecil ga jawab. Ehhh...malah nyosor bibir Mien. (Udah tau kan  kenapa Soekarno punya banyak istri? Dari kecil udh play boy broww....). Sayang, adegan cinta monyet itu terpotong oleh lemparan sandal bapaknya yang diam-diam mengintip.  Soekarno ga ambil pusing ama sikap bapaknya. Di Film ini Soekarno digambarkan punya rasa percara diri yang tinggi sampai-sampai mengira bahwa si gadis londo akan takluk. Mien memang kelihatan kesengsem berat. Namun pujaan hatinya itu malah diusir oleh sang ayah ketika bertandang ke rumahnya. “Kau tak pantas memacari anak saya, kita tak segolongan.” Soekarno remaja diusir. Dua jongos berkulit coklat menyeretnya keluar dari rumah Mien. Pengalaman ini rupa-rupanya meninggalkan trauma yang dalam. soekarno segera sadar akan posisinya sebagai warga kelas kambing di Hindia-Belanda, sehingga dalam film ini  ia langsung belajar pidato di kamar kosnya tiap larut malam, dengan berapi-api.
Kemudian masa-masa pembuangan di Bengkulu dan era pendudukan Jepang mengambil porsi terbesar dalam film Soekarno Ini. Disini kita menyaksikan kebimbangan-kebimbangan Soekarno, khususnya menyangkut perempuan. Istrinya yang setia, Inggit Garnasih, diperlihatkan mendukungnya dengan tulus, mulai dari ia dijebloskan ke penjara Banceuy, Bandung, hingga ke pembuangan di Bengkulu. Di Bengkulu pula Soekarno terpikat oleh muridnya, Fatmawati, yang menyebabkan hubungannya dengan sang istri gonjang-ganjing. Setelah Jepang masuk ke Hindia Belanda dan Soekarno diajak bekerjasama membantu Jepang menghadapi Sekutu, mereka pun bercerai. Tak lama kemudian, Soekarno, yang sudah ditagih cucu oleh orangtuanya, akhirnya menikahi Fatmawati.

Kisah cinta segitiga Soekarno-Inggit-Fatmawati yang mengharu-biru dan melow yelow pelowww itu menyelingi dengan kebimbangan-kebimbangan Soekarno lainnya ketika harus bekerjasama dengan bala tentara pendudukan Jepang. Dalam catatan sejarah yang selama ini diketahui, ia memilih bekerjasama untuk menghindari pertumpahan darah. Pilihan yang saangattt... tidak enak. Ia harus meyakinkan kaum santri agar mau menerima prostitusi dadakan yang diorganisir Jepang di lingkungan mereka, supaya para gadis setempat tak dikorbankan. Beberapa aktivitas padat karya seperti Romusha—kerja paksa yang memakan banyak korban. Soekarno diminta menghimpun tenaga rakyat. Pekerjaan-pekerjaan kotor yang dilakukan dengan penuh keterpaksaan ini menjadikan Soekarno sasaran empuk para pemuda radikal, yang mencapnya  sebagai antek Jepang. Sjahrir, salah seorang wakil dari kelompok pemuda anti-Jepang, sempat bersitegang dengan Soekarno dan Hatta. Bagi Sjahrir, tindakan kolaborasi dengan Jepang hanya akan mendorong Indonesia ke jurang fasisme.  Namun sedini mungkin Hanung menegaskan bahwa terlepas dari ketegangan-ketegangan mereka, ada pemahaman timbal-balik antara Soekarno-Hatta dan Sjahrir, sehingga perbedaan mereka hanyalah soal taktik: Soekarno dan Hatta memilih jalur kooperatif, sementara Sjahrir dan yang lainnya bergerak di bawah tanah, menyebarkan propaganda anti-Jepang.(ngeri ga tuh taktik nya).

Dilema moral
Okay gaess... Gw aplaus buat Hanung karena Soekarno yang ditampilkan adalah Soekarno yang tidak sepenuhnya merdeka dari dilema-dilema moral dalam situasi yang gawat, maupun kecenderungan roman-romanan dengan wanita. Tapi ada persoalan yg sangat besar di sini. Nah loh, kata nya aplaus, kok ada masalah besar? 
Okay, disini gw lihat dari sudut pandang gw. Ini menyangkut susunan gambar yang dibangun Hanung, khususnya pada sekuens detik-detik proklamasi. Pembacaan teks proklamasi yang mengharu-biru diselang-selingi oleh kilasan balik ke masa lalu Soekarno, mulai ketika ia didepak dari rumah Mien Hessel, pengalamannya sebagai buangan di Bengkulu bersama Inggit, pertemuannya dengan Fatmawati, dan seterusnya. Boleh jadi sutradara bermaksud menyuguhkan gambaran bahwa kolonialisme punya efek yang sangat mendalam dan privat bagi Soekarno. But.... rentetan kilasan balik itu justru berimplikasi lain: seakan-akan Soekarno terlibat dalam perjuangan kemerdekaan karena gagal memacari gadis Belanda, seakan-akan Indonesia merdeka karena ketulusan Inggit di pengasingan, dan seakan-akan sejarah nasionalisme Indonesia adalah sintesis misterius antara mitos Gajah Mada—yang beberapa kali disinggung Soekarno dengan berapi-api—dan naik-turunnya percintaan Soekarno. 


Gw setuju dgn review yg mengatakan "Pola penuturan hubungan antara protagonis dan lingkungannya jatuh pada personalisasi konteks sosial-politik di sekitar sang protagonis. Eksploitasi yang terjadi pada inlander adalah eksploitasi sejauh mana Soekarno menyaksikan dan mengalaminya secara langsung. Kesukaran-kesukaran yang dihadapi Soekarno ketika harus memutuskan kerjasama dengan Jepang berbanding lurus dengan kehidupan percintaannya, sehingga ketika cekcok rumah tangga diselesaikan dengan perceraian dan berlanjut dengan pernikahan untuk kesekian kalinya, kerja-kerja kobar di lapangan pun ikut beres." 
Kemunculan film-film tentang tokoh historis belakangan bisa dibaca sebagai respon atas permasalahan sosial yang berkembang dalam masyarakat. Soegija dan Sang Kyai adalah komentar atas masyarakat yang dihantam konflik-konflik sektarian. Konflik yang hadir di masa sekarang diproyeksikan jauh ke masa lampau, lalu diselesaikan lewat ujaran-ujaran heroik sang tokoh—biasanya pada bagian penutup—yang ajaibnya merupakan komentar atas masa depan ketimbang tentang qsituasi konkret yang mereka hadapi. Tak heran jika periode-periode yang diambil masih sekitar momentum-momentum gemilang seperti proklamasi


Hal yang sama berlaku juga buat Soekarno. Sekuens pidato Pancasila Soekarno secara langsung merupakan komentar atas, katakanlah, semakin konservatifnya masyarakat sekarang dalam urusan keagamaan. Adapun pembicaraan Soekarno dan Hatta menjelang 17 Agustus adalah komentar langsung atas pesimisme pra-pemilu 2014 yang dibungkus dengan pertanyaan-pertanyaan klise seperti, “mampukah bangsa kita memimpin rakyatnya sendiri?”
Sulit memang membayangkan bagaimana narasi sejarah bisa hadir tanpa keberadaan tokoh besar dengan ujaran motivasional dalam film-film sejarah Indonesia. Kapan yah film Indonesia bisa keluar dari tema-tema perjuangan nasionalis di sekitar tahun 1945, lalu mengangkat invasi dan penjajahan Indonesia di Timor Leste, operasi Petrus dan episode-episode gelap lainnya dalam sejarah bangsa? Atau mungkin nih untuk narasi biografis, saran gw bisa gak film Indonesia sekarang mengisahkan tokoh dari masa lampau dalam keadaannya yang paling buruk, dalam kegagalan-kegagalannya mengatasi peristiwa besar yang di berada di luar kendalinya, atau dalam kejahatan-kejahatannya yang tak termaafkan? Sebenernya gw di sini tidak hanya bicara tentang, misalnya, hari-hari terakhir Gus Dur—presiden progresif terakhir yang dimiliki Indonesia—di Istana, tetapi juga kriminal-kriminal yang tak tersentuh.

Btw nih... Jika tren film pahlawan masih begitu-begitu aja, boleh jadi untuk tahun-tahun ke depan kita lebih butuh Mario Teguh, makin gampang lupa, dan tak mau terima kritik. 
Uhhfftttt setalah gw baca2 dari atas, emang agak berat pembahasan film soekarno ini. But, worth it sih. Lena ini menyangkut film indonesia.kita ga mau dong film negri sendiri ga bagus. 
Gw beri rating 7,5/10 utk film ini. Krna udah berani mengangkat Soekarno pribadi, bukan sebagai pendukung dlm film.
Btw, dirgahayu ke -70 negriku indonesia.Nusantara yg indah dan penuh cerita. 
Nah... Gaes jgn lupa di Like yah review ini.
*JMFC 006 - Uwo*

Tidak ada komentar:

Posting Komentar